Indonesian
Friday 19th of April 2024
0
نفر 0

Teori Filsafat Suhrawardi ‘Cahaya dan Kegelapan’ dan Hubungannya dengan Ma’ad

Teori Filsafat Suhrawardi ‘Cahaya dan Kegelapan’ dan Hubungannya dengan Ma’ad

Pertanyaan utama dalam gagasan ini ialah apa maksud tentang cahaya dalam pandangan Suhrawardi ? karena sebagaimana kita pahami bersama, pondasi dan fokus utama dalam kajian filsafat iluminasi Suhrawardi ialah mengenai cahaya. Suhrawardi terkadang menyebutnya dengan ‘ilmu al-anwar’ atau ‘fiqh al-anwar’.


Suhrawardi memandang cahaya sebagai perkara yang badihi. Jelas dan tak butuh definisi. Menurut Suhrawardi, jika wujud tak butuh definisi dan penjelasan, dikarenakan wujud adalah sesuatu yang nampak, maka tak ada sesuatu yang lebih nampak dibanding dengan cahaya. Oleh karena itu, dibandingkan dengan wujud, cahaya lebih tidak membutuhkan  definisi dan penjelasan.


Menurut Suhrawardi, cahaya adalah ‘yang nampak’ sehingga filsafat Suhrawardi didasarkan pada apa yang nampak. Ia mendasarkan filsafatnya pada objek yang paling diketahui secara pengalaman, bukan pada konsep-konsep yang paling general dan universal. Kemudian disisi lain sesuatu yang diperhadapkan dengan cahaya adalah kegelapan dimana kegelapan tak lain dan tak bukan kecuali ‘ketiadaan cahaya’ saja. Namun mesti dipahami, ketiadaan disini bukan ketiadaan yang diperhadapkan dengan malakah, namun ketiadaan disini seperti afirmasi yang diperlawankan dengan negasi.

Quthbuddin Syirazi dalam mendefinisikan cahaya menurut Suhrawardi mengatakan, wujud dan ketiadaan analoginya seperti nampak dan tersembunyi atau cahaya dan kegelapan. Jadi keluarnya suatu keberadaan dari ketiadaan menuju keberadaan seperti keluarnya dari ketersembunyian pada penampakan atau dari kegelapan menuju cahaya. Karena itu menurut Suhrawardi, wujud itu seluruhnya adalah cahaya. Meskipun disisi lain terkadang cahaya disamakan dengan niscaya (wujub) sedangkan kegelapan disamakan dengan mumkin. Begitu pula dengan penafsir lainnya seperti Syahrzuri yang meyakini bahwa wujud adalah cahaya.


Mulla Sadra memaknai cahaya sama dengan makna wujud. Maksudnya wujud dan cahaya adalah dua kata yang diabstraksi dari satu hakekat realitas eksternal. Menurutnya, wujud sesuatu adalah penampakannya. Berdasarkan hal ini, wujud materi pun merupakan bagian dari tingkatan cahaya. Dan oleh karena cahaya adalah kesempurnaan wujud sebagaimana wujud maka wujud dan cahaya adalah dua kata yang menjelaskan satu realitas. Quran (24;35) pun menjelaskan, ‘Allah adalah cahaya seluruh langit dan bumi’. Menurut Sadra, predikasi cahaya pada wujud adalah predikasi yang hakiki.

Meski demikian, pada saat yang sama, kita tidak sepaham dengan mereka yang mengatakan bahwa Suhrawardi hanya mengganti kata wujud menjadi kata cahaya karena pada tempat yang lain Suhrawardi justru menganggap wujud sebagai perkara yang iktibari. Jika demikian, lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan cahaya menurut Suhrawardi ?

Cahaya sebagaimana kegelapan adalah sebuah simbol. Namun simbol dari hakekat realitas apakah yang ingin digambarkan dari simbol tersebut dan mengapa Suhrawardi memulai filsafatnya dengan simbol cahaya ? jika kita menelusuri lebih jauh gagasan-gagasan Suhrawardi dalam teks-teks iluminasinya, akan terlihat dengan jelas bahwa cahaya dalam filsafat iluminasi merupakan simbol kesadaran dan pengetahuan dan simbol kesadaran realitas diri.

Suhrawardi dalam Hikmatul Isyraq menjelaskan bahwa cahaya bermakna kesadaran atas realitas diri. Ia juga menjelaskan bahwa karekteristik cahaya murni adalah mempersepsi realitas zat dan bahkan mempersepsi zat hanya disematkan kepada cahaya murni semata. Karena itu ketika membagi cahaya, Suhrawardi membagi cahaya pada cahaya di dalam dirinya dan untuk dirinya atau cahaya murni yang bersandar pada dirinya sendiri dan nampak bagi dirinya sendiri. Maksudnya ia mempersepsi dirinya sendiri dan tak lalai dari dirinya sendiri.

Berdasarkan hal ini dapat dipahami bahwa Suhrawardi membangun filsafatnya dengan idealisme iluminatif. Maksudnya apapun cahaya bagi dirinya sendiri akan meniscayakan kesadaran diri. Cahaya bagi dirinya sendiri adalah kesadaran atas realitas diri. Filsafat iluminasi dibangun atas sebuah kesadaran. Realitas bagi Suhrawardi adalah kesadaran itu sendiri dan juga sekaligus adalah cahaya. Inti realitas dapat dipersepsi dan diperoleh secara langsung. Dalam kata lain, cahaya adalah penampakan dan penampakan adalah persepsi atas realitas zat. Pengetahuan ini adalah pengetahuan atas sesuatu dengan perspesi secara langsung dan tanpa perantara. Sebuah pengetahuan huduri (kehadiran) bukan husuli (koresponden).

Bagi Suhrawardi, kesadaran atas realitas diri, tidak mungkin diraih melalui sebuah gambaran jiwa di mental. Karena bentuk tersebut, bukan realitas jiwa yang sebenarnya dan juga tak akan memberikan pengetahuan. Kesadaran atas realitas diri dan tanpa melalui perantara dengan sendirinya menjadi sebuah dasar atas kehidupan, persepsi, aktualitas, dan pengetahuan. Sehingga maksud dari cahaya adalahhayyun darrakun fa’al  (yang hidup, yang mempersepsi, dan aktif). Maka kegelapan adalah segala sesuatu yang tak memiliki kehidupan, persepsi, dan penampakan atau aktualitas. Berdasarkan hal ini, perbedaan antara materi dan immateri pada hidup dan persepsi. Segala yang hidup pada zat dirinya sendiri adalah cahaya immateri dan segala cahaya immateri adalah hidup berdasarkan atas zat dirinya sendiri. Maka segala yang memiliki kesadaran, pasti cahaya immateri.

Maad dalam Filsafat Iluminasi
Maad dalam pemikiran Suhrawardi ialah meninggalkan alam kegelapan-kegelapan menuju iluminasi cahaya-cahaya. Suhrawardi menjelaskan persoalan maad pun berdasarkan pondasi pemikirannya; cahaya dan kegelapan. Dalam pandangan Suhrawardi, tak lagi bisa digambarkan ketiadaan bagi cahaya mujarrad (jiwa) setelah terpisah dari badan. Karena cahaya mujarrad tak meniscayakan ketiadaan dirinya karena jika dimungkinkan, sejak awal dirinya tak mungkin ada. Dan begitu pula, tak mungkin tiada jika dilihat dari sebabnya dan sumber keberadaannya karena sebabnya adalah abadi dan tak pernah berubah.


Ketikan cahaya mujarrad terpisah dari kegelapan-kegelapan, dirinya akan kekal mengikuti sebabnya yaitu Nur Qāhirah. Jiwa-jiwa yang suci dan mengikuti proses tazkiyah, setelah terpisah dari badannya, akan terkoneksi dengan alam cahaya. Jiwa yang bentuknya seperti ini, tidak mengalami perpindahan (reinkarnasi) atau mengalami proses pensucian kembali karena jiwanya telah suci. Namun jiwa-jiwa yang tidak sempurna dalam pengetahuan, kesucian, dan tazkiyah, tidak akan tersambung dengan alam qudsi. Setelah meninggal dan jiwanya terpisah dari badan, jiwanya akan terkoneksi dengan alam suwar mu’allaqah atau mitsal mu’allaqah dengan badan barzakhi yang disesuaikan dengan amal-amal, akhlak-akhlak, dan kecendrungan-kecendrugan dirinya.


Berdasarkan hal tersebut, Suhrawardi menerima konsep reinkarnasi (tanasukh) yang disebut dengan perpindahan bagi jiwa-jiwa yang tidak sempurna dalam proses tersebut. Suhrawardi sebagai pengikut aliran Platonis meyakini konsep reinkarnasi namun berbeda dalam menjelaskan ‘perpindahan’ yang dimaksud. Suhrawardi meyakini bahwa jiwa yang tidak sempurna akan berpindah dari badan yang satu kepada badan yang lain yang bukan badannya yang pertama. Maksud dari perpindahan tersebut adalah pada badan mitsali, bukan pada badan materi.


Derajat Jiwa setelah Kematian
Suhrawardi membagi tingkatan jiwa manusia setelah kematian berdasarkan pada derajat kesucian dan pengetahuan yang manusia raih semasa hidup di alam dunia ini. Oleh karena itu perbedaan-perbedaan derajat pengetahuan bagi jiwa manusia dapat dibagi menjadi tiga bagian; 1) su’ada; yaitu mereka yang ketika hidup di dunia ini telah sampai pada kesucian pada tingkatan tertentu. 2)Asyqiya; yaitu jiwa-jiwa yang gelap dikarenakan keburukan dan kejahilannya ketika di dunia. 3) mereka yang telah sampai pada maqam wilayah dan iluminasi. Mereka adalah ahli hikmah (filsuf yang muta’allihin).

Jiwa-jiwa pada tingkatan pertama, setelah kematian akan terkoneksi dengan mutsul mu’allaqah. Disana mereka akan merasakan kenikmatan-kenikmatan seperti suara-suara yang merdu, bau aroma sedap, dan beragam rasa yang nikmat. Kenikmatan yang ada di alam ini adalah bayangan dari kenikmatan yang ada di alam sana. Jiwa-jiwa pada tingkatan kedua akan terkoneksi dengan alam suwar mu’allaq dan akan merasakan derita alam imajinasi dimana alam kegelapan adalah kekuatan-kekuatan iblis dan para jin. Sedangkan jiwa-jiwa pada tingkatan ketiga adalah jiwa-jiwa urafa dan auliya. Setelah terpisah dari badannya, mereka akan naik bahkan melewati alam para malaikat. Disanalah mereka akan memperoleh kebahagiaan dikarenakan kedekatan mereka kepada nur al-anwar. Jiwa-jiwa mereka adalah jiwa-jiwa yang suci sehingga mampu naik ke alam cahaya dan terkoneksi dengan alam cahaya qudsi.

Syahrzuri dalam mengomentari gagasan Suhrawardi tentang tingkatan jiwa, menambahkan satu tingkatan sehingga menjadi empat tingkatan jiwa. 1) mereka yang sempurna dalam dua aspek; ilmu dan amal. 2) mereka yang tak sempurna dalam keduanya, baik ilmu dan amal tidak sempurna. 3) mereka yang sempurna hanya pada ilmu saja, tak sempurna dalam amal. 4) mereka yang sempurna dalam amal saja, tak sempurna dalam ilmu. Golongan pertama adalah orang-orang muqarrabin yang telah sampai menyaksikan nur al-anwar sehingga mereka sampai pada puncak kebahagiaan. Golongan kedua adalah mereka kekal di neraka yaitu orang-orang yang sempurna dalam penderitaannya. Golongan ketiga adalah orang-orang menengah dalam kebahagiaan. Maksud dari golongan su’ada menurut Suhrawardi adalah golongan ketiga ini. Setelah manusia terpisah dari badannya, selanjutnya akan terkoneksi dengan alam mutsul mu’allaqah nuraniyah yang merupakan manifestasi dari sebagianajram falakiyah  dan alam barzakh.

Menurut Mulla Hadi Zabzawari, jiwa yang sempurna pada dua aspek, setelah terpisah dari badannya, secara langsung akan terkoneksi dengan alam akal tanpa mesti singgah di alam mitsal. Namun mereka yang dalam posisi pertengahan yang hanya sempurna dalam ilmu saja, namun kurang dalam amal, setelah berhenti di alam mitsal, akan melanjutkan perjalannya ke alam akal. Menurut Zabzawari, sempurna dalam ilmu berhak untuk memiliki maad ruhani. Alasannya karena ketika di dunia mereka telah memiliki pengetahuan dan makrifat sehingga ketika meninggal kelak mereka akan menyaksikan pengetahuannya di alam akal.

Namun mesti dipahami, baik Suhrawardi maupun Syahrzuri sama-sama menegaskan bahwa alam imajinasi sebagai wadah bagi su’adayang akan memperoleh kenikmatan dan wadah bagi asyqiya yang akan memperoleh azab, berbeda dengan alam ide platonis karena alam ide platonis adalah alam akal. Sedangkan alam imajinasi adalahmutsul mu’allaqah yang terbagi menjadi dua bagian; nurani (cahaya) sebagai wadah bagi su’ada dan ruhani kegelapan sebagai wadah bagiasyqiya.

Kenikmatan dan Persepsi
Dalam filsafat iluminasi, ada kaitan yang sangat erat antara cahaya dan persepsi sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya dalam memaparkan hakekat cahaya. Disini juga terlihat keterikatan yang sangat erat antara realitas dengan epistemologi. Karena itu persoalan kenikmatan tak terpisahkan dari persoalan makrifat.

Suhrawardi dalam mendefinisikan nikmat dan derita mengatakan, nikmat adalah sampainya kepada kesempurnaan dan kebaikan dimana tak ada yang menghalangi dalam meraihnya dan mempersepsinya. Dan derita adalah sampainya kepada keburukan dan kerugian dimana tak ada yang menghalangi dalam meraihnya dan mempersepsinya.

Kenikmatan dan penderitaan jiwa sangat bergantung kepada makrifat dan persepsi. Kemudian disisi lain, terdapat relasi antara cahaya dan cinta serta nikmat. Cinta adalah buah dari makrifat dan disisi lain, mempersepsi cinta dan meraihnya akan menghasilkan kenikmatan. Hubungan ini dijelaskan dengan mengeksplorasi realitas cahaya, bahwa cahaya adalah pengetahuan dan maksud dari cinta adalah kecendrungan dan tawajjuh. Maksudnya jiwa seseorang yang telah disifatkan dengan sifat-sifat yang baik dan selama hidupnya telah mampu mempersepsi hakekat-hakekat sesuatu, maka kecendrungannya kepada alam cahaya akan semakin besar karena cinta adalah buah dari pengetahuan. Semakin besar cintanya maka kebutuhannya kepada alam barzakh semakin sedikit namun ingin lebih dekat kepada nur al-anwar, sehingga kenikmatan dan ketersampaian bergantung pada besarnya cinta.

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Merajut Dialog dengan Asy'ariah dan Mu'tazilah
Hukum-hukum Puasa Musafir
Muslim Syiah, Shalat Tiga Waktu Benarkah?
Khumus dalam Madrasah Ahlul Bayt
Rahasia Salat
Hukum Melihat Gambar-gambar Porno di Internet
Mengapa Syaikh Kulaini Ra tidak memperlihatkan kitab al-Kâfi itu kepada Imam Zaman Ajf?
Ilmu dan Pemahaman Agama
PESONA KEBURUKAN
Fiqih Itu Indah

 
user comment