Kalau saja imamah termasuk pokok agama, lalu kenapa
Al-Qur’an tidak membicarakannya?
Bukan hal yang diragukan lagi bahwa kepemimpinan umat
sepeninggal Rasulullah Saw membutuhkan sosok yang besar
dan mulia, siapa pun orang yang netral dan bijaksana
pasti mengakui hal ini, dan ternyata tidak seperti yang
dibayangkan oleh si penggugat; kepemimpinan umat atau
imamah telah dijelaskan oleh Al-Qur’an secara global.
Ayat-ayat yang menjelaskan imamah atau kepemimpinan
umat adalah:
1. Ayat Wilayah
Allah Swt. berfirman:
“Hanya sesungguhnya pemimpin kalian adalah Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman yang
mendirikan shalat dan membayar zakat dalam keadaan
mereka ruku’.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 55)
Banyak sekali mufasir Al-Qur’an dan ahli hadis yang
meriwayatkan sya’nun nuzul ayat ini, ‘Suatu ketika, ada
pengemis masuk masjid dan minta bantuan, tapi tak
seorang pun yang memberinya sesuatu, sampai kemudian
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as yang sedang dalam
keadaan ruku’ mengisyaratkan jari-jari bercincinnya ke
arah pengemis supaya dia ambil cincinnya untuk memenuhi
kebutuhannya, maka si pengemis maju dan melepas cincin
beliau lantas pergi.’
Ketika itu Nabi Muhammad Saw mendapat berita akan
kejadian tersebut, dan ketika itu pula beliau berdoa
kepada Allah Swt, ‘Ya Allah, sebagaimana Engkau telah
menentukan menteri untuk Musa dari keluarganya,
tentukanlah pula menteri bagiku dari Ahli Baitku
(keluargaku).’ Saat itu juga malaikat pembawa wahyu
turun dan menyampaikan ayat di atas kepada beliau.’
Selain ulama Syi’ah, setidaknya 66 ahli hadis dan ahli
kalam terkemuka dari kalangan Ahli Sunnah juga telah
meriwayatkan sya’nun nuzul ini dalam kitab mereka
dengan perbedaan yang tidak berarti. Peneliti temama
Allamah Amini menyebutkan referensi periwayatan itu di
dalam kitab berharganya Al-Ghodir.[1]
Sekarang, mari kita merenungkan bersama bagaimana ayat
ini mengungkapkan masalah imamah atau kepemimpinan:
Kata ‘waliy’ dalam ayat ini berarti pemimpin atau orang
yang memegang kendali urusan, itulah kenapa bapak dan
hakim atau pemerintah juga disebut dengan ‘wali’ : Al-
abu waliyu al-thifl; artinya, bapak adalah wali
anaknya. Al-hakim waliyu al-qoshir; artinya, hakim atau
pemerintah adalah wali orang yang tak mampu. Dan
mengingat bahwa pokok pembahasan sekarang adalah ‘wali
orang-orang yang beriman’, maka sudah barang tentu yang
dimaksud dengan wali adalah imam, pemimpin dan
pemerintah. Bahkan, indikasi-indikasi yang meliputi
ayat ini, begitu pula sya’nun nuzulnya merupakan bukti
nyata bahwa yang dimaksud dengan kata ‘waliy’ di sini
adalah pemimpin.
Indikasi itu antara lain:
1. Jika memang yang dimaksud dengan kata ‘waliy’ dalam
kalimat (ولیکم الله) bukan kepemimpinan, tapi bermakna seperti
‘pecinta’ atau ‘penolong’, maka tidak ada alasan yang
benar untuk membatasi faktanya hanya pada tiga; Allah
Swt, Rasulullah Saw, dan orang mukmin yang memberikan
zakat atau sedekahnya dalam keadaan ruku’, karena semua
orang yang beriman adalah pecinta, teman, penolong, dan
pendukung satu sama yang lain, sehingga pembatasannya
hanya pada tiga pihak itu sama sekali tidak bisa
dibenarkan.
2. Secara literal, ayat ini menunjukkan hanya tiga yang
punya hak wilayah atas umat Islam. Dengan demikian,
tidak bisa tidak pihak yang berhak wilayah bukanlah
pihak yang berada di bawah wilayahnya. Jika ‘waliy’
dalam ayat ini diartikan dengan pemimpin dan wilayah
dengan kepemimpinan terhadap urusan umat Islam maka dua
pihak itu jelas terpisah satu dari yang lain, tapi jika
kata itu diartikan dengan kawan, pecinta, atau penolong
maka dua pihak yang tertera dalam ayat ini tidak lebih
dari satu dan tak terpisahkan satu dari yang lain,
karena semua orang yang beriman adalah kawan, pecinta
dan penolong satu sama yang lain.
3. Seandainya yang dimaksud dengan kata ‘waliy’ dalam
ayat ini adalah kawan, pecinta atau penolong maka
semestinya ayat ini cukup menyebutkan kalimat “orang-
orang yang Beriman” dan tidak perlu menambahkan kalimat
“yang mendirikan shalat dan membayar zakat dalam
keadaan mereka ruku”, karena di tengah masyarakat yang
beriman setiap orang merupakan kawan, pecinta dan
penolong satu sama yang lain; baik mereka membayar
zakat dalam keadaan ruku’ atau pun tidak.
Berdasarkan keterangan di atas, maksud yang
sesungguhnya dari ayat ini adalah apa yang telah
disabdakan oleh Rasulullah Saw, ‘Wahai Ali, setelahku
engkau adalah wali (pemimpin) bagi setiap orang yang
beriman.’[2]
Kalimat ‘setelahku’ dalam hadis nabawi ini juga
membuktikan bahwa yang dimaksud dengan kata ‘wali’
adalah pemimpin dan pemerintah dalam urusan agama serta
dunia, bukan pecinta atau penolong; karena, jika yang
dimaksud dengan kata ‘wali’ adalah pecinta atau
penolong maka itu tidak terbatas pada masa kepergian
Rasulullah Saw.
2. Ayat Aulil Amri.
Ayat Wilayah bukan satu-satunya ayat Al-Qur’an yang
menerangkan masalah imamah dan wilayah. Contoh lain
dari ayat yang menjelaskan masalah ini adalah Ayat Ulil
Amri. Allah Swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul serta Ulil Amri dari kalian.” (QS. Al-
Nisa’ [4]: 59.)
Ulil Amri berarti para pemimpin, dan di dalam ayat ini
menunjukkan makna kepemimpinan sejumlah orang yang
ketaatan pada mereka bersandingan dengan ketaatan pada
Allah Swt dan Rasul Saw.
Fakhrur Razi di dalam kitab tafsimya punya penjelasan
yang menarik sekali. Dia mengatakan, ‘Mengingat bahwa
Ulil Amri di sini disandingkan dengan Allah Swt dan
Rasul Saw, maka tidak mau tidak orang yang menduduki
posisi ini adalah orang yang suci dari dosa dan
kesalahan; karena, -selain karena bersandingan dengan
dua pihak yang suci dari dosa dan kesalahan (Allah Swt
dan Rasul Saw) maka para pemimpin itu juga harus suci
dari dosa dan kesalahan- ketaatan yang diwajibkan dalam
ayat ini bersifat mutlak dan tanpa syarat, maka para
pemimpin yang dimaksud dalam ayat ini juga harus orang
yang suci dari dosa dan kesalahan, dan jika tidak
demikian maka seharusnya ketaatan itu dibatasi, tapi
ternyata Al-Qur’an mewajibkan ketaatan itu tanpa batas
dan catatan apa pun.[3]
Sebagaimana yang sudah jelas, dua Ayat Wilayah dan Ayat
Ulil Amri menjelaskan masalah imamah atau kepemimpinan
secara independen. Pada saat yang sama, ada juga ayat
Al-Qur’an yang secara langsung dan terpisah tidak
memaparkan masalah imamah, tapi sya’nun nuzulnya
membuktikan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
masalah imamah dan kepemimpinan. Seperti Ayat Ikmal.
3. Ayat Ikmal
Allah Swt berfirman:
“Pada hari ini orang-orang kafir putus asa dari agama
kalian maka janganlah kalian takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku, pada hari ini telah Aku sempurnakan
untuk kalian agama kalian dan telah Aku lengkapi
nikmat-Ku atas kalian serta telah Aku ridai Islam
sebagai agama bagi kalian.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 3)
Para mufasir dan sejumlah ahli hadis menyebutkan bahwa
ayat ini turun pada waktu Haji Wada’ Nabi Muhammad Saw,
dan tepatnya di Hari Ghadir Khum, yaitu hari ketika
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dilantik sebagai
imam sepeninggal beliau.[4]
Berdasarkan tiga ayat di atas, kiranya itu sudah cukup
untuk menjawab pertanyaan apakah masalah imamah,
wilayah atau kepemimpinan telah dijelaskan dalam Al-
Qur’an ataukah tidak. Terang saja Al-Qur’an tidak
mungkin mengabaikan masalah yang sangat penting ini.
CATATAN :
[1] Al-Ghodir, jld. 3, hal. 156-162.
[2] Mustadrok Al-Hakim, jld. 3, hal. 111; Musnad A[!
mad,jld. 4, hal. 437.
[3] Mafatih Al-Ghoib (Tafsir Fakhrur Razi), jld. 10,
hal. 144.
[4] Al-Dur Al-Mantsur, jld. 2, hal. 298; Fath Al-Qadir,
jld. 2, hal. 57; Yanabi’ Al-Mawaddah, hal. 120; Tafsir
Al-Munir, jld. 6, hal. 463; Allamah Amini di dalam
kitab Al-Ghodir menyebutkan sedikitnya 16 referensi
otentik yang meriwayatkan bahwa ayat ini turun di Hari
Ghadir Khum. Lihat: Al-Ghodir, jld. 1, hal. 447-458.