Indonesian
Friday 29th of March 2024
0
نفر 0

INTROPEKSI DIRI; PERANNYA DALAM MENDIDIK JIWA

Oleh: Al Hassanain

Mukaddimah
'Intropeksi diri' merupakan salah satu tema yang cukup menarik dimana banyak ditemukan dalam berbagai riwayat dan demikian pula puluhan buku ditulis terkait dengan tema ini. Rasulullah saw pernah bersabda:"Selama seseorang tidak pernah mengintropeksi dirinya, maka ia bukanlah orang yang dikategorikan sebagai yang bertakwa"(Wasailus Syi'ah, jilid 16, hal. 98). "Dan seseorang yang tidak mengintropeksi dirinya, tidak bisa dianggap sebagai seorang mukmin"( Wasailus Syi'ah, jilid 16, hal. 99). Dalam kacamata Beliau saw, "orang yang paling cerdik adalah orang yang mengintropeksi dirinya dan beramal untuk hari akhiratnya" (Wasailus Syi'ah, jilid 16, hal. 98). Menurut Imam Kazhim as, "seseorang yang tidak mengintropeksi dirinya setiap hari, tidak bisa digolongkan sebagai syi'ah dan pengikut Ahlulbait as"(Al Kafi, jilid 2, hal 453).

Riwayat-riwayat diatas memperjelas bahwa intropeksi diri memiliki nilai yang sangat penting pada keimanan dan akhlak seseorang; dengan demikian, lazimnya muncul dua pertanyaan seperti berikut ini: apa itu intropeksi dan harus bagaimana mengintropeksi diri? Betapa banyak dampak positif bagi jiwa dan pikiran pada intropeksi diri sehingga ia mendapat posisi yang demikian penting ini. Karena buku-buku akhlak telah banyak menjelaskan secara rinci dalam bentuk tanya jawab, disini hanya akan dijelaskan secara singkat dan tujuan dasar dari makalah ini adalah mengkaji terkait dengan pertanyaan kedua.


Makna Dan Cara Intropeksi Diri
Intropeksi diri adalah seseorang yang menentukan suatu waktu (siang dan malam) dan waktu tersebut digunakan untuk mengintropeksi dirinya dan membanding-bandingkan antara ketaatan dan dosa yang dilakukannya (Mulla Ahmad Naraqi, Mi'rajus Sa'adah, hal. 586). Demikian pula, intropeksi diri adalah seseorang mencoba menimbang-nimbang segala nikmat pemberian Allah Swt dengan ketaatan yang ia lakukan terhadap-Nya (Mulla Hadi Sabzawari, Syarhul Asmaul Husna, hal. 154).

Dalam menjawab pertanyaan berkenaan dengan intropeksi diri, Imam Ali as menitahkan:"Ketika seseorang melewati siang dan malamnya, hendaknya menjadikan jiwa dan dirinya itu sebagai lawan bicara dan mengatakan: wahai jiwa dan diri, hari yang baru saja lewat ini tidak akan pernah kembali lagi, Allah Swt kelak akan meminta pertanggungjawaban darimu bahwa kamu gunakan waktumu untuk apa, apa yang kamu lakukan ketika itu, apa kamu mengingat Allah Swt? Apakah kamu memuji-Nya? Apakah kamu memenuhi kebutuhan seorang mukmin? Memberi solusi untuknya? Apakah kamu menjaga keluarga dan anak-anaknya ketika mereka (orang mukmin) tidak ada? Apakah kamu tetap memperhatikan keluarga yang ditinggal mati oleh mereka (orang mukmin)? Apakah kamu menahan dari menggibah saudara seimanmu? Apakah kamu menolonga seorang muslim? Pekerjaan apa saja yang kamu lakukan hari ini? Apakah kamu mengingat seluruh pekerjaanmu pada hari itu, kalau kamu tahu bahwa kamu telah mengerjakan pekerjaan baik, maka hendaklah mengakui kebesaran dan memuji-Nya atas taufik yang diberikan kepadamu, dan kalau kamu tahu bahwa yang kamu lakukan adalah perbuatan dosa dan maksiat yang sengaja kamu lakukan, maka memohon ampunlah kepada-Nya dan berniatlah untuk tidak melakukan hal itu lagi."(Wasailus Syi'ah, jilid 16, hal 98).


Tahapan Intropeksi Diri
Kendatipun kalangan ulama ilmu akhlak menganggap bahwa musyarathah, muraqabah, muhasabah, dan mu'atabah tersebut merupakan sebuah rangkaian, namun adanya sebuah riwayat yang menjelaskan cara intropeksi, menunjukkan bahwa intropeksi sebuah rangkaian yang dibangun atas beberapa tahapan berikut ini:

1. menempatkan dirinya untuk menanyakan jiwa dan dirinya.

2. mengingatkan akan pentingnya waktu dan umur.

3. harus memperhatikan bahwa kelak ia harus mempertanggunjawabkan segala perbuatan dan umurnya.

4. seseorang harus memperjelas pekerjaan-pekerjaan yang dilakukannya hari itu.

5. membandingkan amalan-amalan dengan seluruh aktifitas yang harus dilakukannya.

6. memuji dan mengagungkan Allah Swt ketika melakukan perbuatan baik.

7. bertaubat dan beristighfar ketika melakukan dosa dan maksiat.

8. bertekad untuk meninggalkan perbuatan dosa.

Perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang pada saat intropeksi, terbentuk dari dua aktifitas pikiran dan perbuatan. Diantara aktifitas pikiran adalah menangkap dan memahami nilai sebuah umur, perhatian terhadap perjanjian, menghitung seluruh perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang, menimbang serta membandingkan pekerjaan-pekerjaan ini dengan parameter syari'at dan pada puncaknya adalan berniat serta bertekad meninggalkan perbuatan dosa. Aktifitas yang ada kaitannya dengan perbuatan diantaranya adalah memuji Allah Swt dan memohon ampunan-Nya. Setiap dari kedua aktifitas ini tentunya memiliki peran yang luar biasa dalam memperbaiki kondisi etika dan spiritual seseorang.


Perbedaan 'Intropeksi Diri' dengan 'Menimbang Diri' Yang Ada Pada Psikologi
Di era ini, dalam budaya psikologi, nampak pengertian tentang 'menimbang diri' (self assessment) atau 'evaluasi diri' (self evaluation). Dengan melihat bahwa pada 'intropeksi diri' terdapat sebuah bentuk yang sifatnya mengevaluasi dan menimbang seluruh perbuatan dan sikap diri, maka muncullah pertanyaan ada korelasi apa antara 'menimbang diri' dengan 'intropeksi diri'? apakah keduanya memiliki perbedaan?

Untuk mengetahui hubungan dan perbedaan keduanya, mesti memperhatikan definisi dari keduanya. 'menimbang diri' memiliki pengertian psikologis dimana secara umum mencakup segala bentuk 'menimbang diri'. Pada saat sekarang, istilah ini banyak digunakan terkait dengan alat pengukur dan penimbang setiap pribadi.(Nushratullah Pur Afkari, Farhagg-e Jam'e Ravan Syenasi va Ravan Pezesyki, jilid 2, hal. 1364). Perlengkapan atau peralatan ini dibagi menjadi dua bentuk menimbang diri. Dengan menggunakan fasilitas 'menimbang diri', seseorang akan mengetahui kepribadiannya, kesenangannya, kecenderungan-kecenderungan, pikiran dan sikapnya.

'Intropeksi diri' mengandung pengertian akhlak dan etika dimana seseorang mengevaluasi seluruh perbuatan dan amalnya setiap siang dan malam dan memperhatikan sejauh mana perbuatan dan niatnya itu dekat dengan parameter agama dan syari'at. Ketika ia merasa bahwa perbuatan dan amalnya itu sesuai dengan apa yang dikatakan syari'at dan agama (merasa sukses), maka ia langsung menyatakan kesyukurannya kepada Allah Swt dan sebaliknya, kalau segala perbuatannya itu tidak sesuai dengan apa yang diinginkan agama dan syari'at maka ia langsung bertobat dan memohon ampun kepada-Nya serta bertekad untuk tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut.

Melihat defenisi-defenisi tersebut, maka harus jelas bahwa pada 'evaluasi diri' dan 'intropeksi diri' ada sebuah bentuk evaluasi atas perbuatan dan aktifitas, pikiran-pikiran, dan motifasi-motifasi yang dilakukan seseorang. Dengan demikian pada keduanya terdapat beberapa perbedaan, yaitu:

1. pada 'intropeksi diri' terdapat parameter nilai yang jelas yang seseorang bisa mengukur amal dan perbuatannya berdasarkan hal itu, namun 'evaluasi diri' pada psikologi lebih dominan diartikan sebagai informasi tentang diri, yakni 'evaluasi diri' pada psikologi tidak memiliki parameter yang jelas dan tertentu yang mana seseorang bisa mengukur aktifitas dan amalnya dengan hal tersebut.

2. pada 'intropeksi diri' seseorang - setelah mengevaluasi dirinya - kalau merasa bahwa ia telah sukses maka akan bersyukur kepada Allah Swt. Kalau merasa ia tidak sukses, maka ia akan mencaci serta mencela dirinya, tetapi 'evaluasi diri' pada psikologi, seseorang hanya sekedar menunjukkan secara umum dan deskriptif tentang dirinya, tanpa ada semacam pemberian hadiah kepada dirinya ketika ia sukses atau ketika tidak sukses, ia mencela dirinya atau bertekad untuk merubah dirinya.

3. pada aspek motifasi, 'intropeksi diri' dan 'evaluasi diri' juga memiliki perbedaan; 'intropeksi diri' dilakukan atas dasar dan motifasi menyesuaikan perbuatan-perbuatan dengan aturan-aturan syari'at dan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt, akan tetapi 'evaluasi diri' dilakukan lebih kepada untuk mengetahui kepribadian, kecenderungan-kecenderungan, cara pandang, dan terkadang karena adanya gangguan-gangguan.

4. cara 'intropeksi diri' dan 'evaluasi diri' juga memiliki perbedaan; pada 'intropeksi diri', seseorang setiap malam berusaha menyepi dan membayangkan seluruh pekerjaan dan aktifitasnya, namun pada 'evaluasi diri' dilakukan dengan cara menggunakan alat-alat yang bermacam-macam. Sebagian dari peralatan ini memberikan informasi tentang kepribadian seseorang, sebagiannya lagi tentang gangguan-gangguan jiwa, serta sebagiannya lagi memberikan gambaran tentang kecenderungan-kecenderungan kerja dan studi seseorang. Dengan peralatan ini orang melakukan proses 'evaluasi diri'.

Oleh karena itu, kendati 'intropeksi diri' sebuah bentuk evaluasi diri dan penilaian terhadap pekerjaan dan sikap, akan tetapi jangan sekali-kali disamakan dengan 'evaluasi diri' pada psikologi, karena 'intropeksi diri' memiliki cara, tujuan dan falsafah khusus yang tidak ditemukan pada 'evaluasi diri' di psikologi.


Korelasi Muhasabah dengan Musyarathah, Muraqabah dan Mu'atabah
Hal yang banyak ditegaskan dalam beberapa riwayat adalah pengertian 'Muhasabah' yang caranya telah dijelaskan sebelumnya. Sebelumnya juga sebagian ulama akhlak menjelaskan tentang 'Musyarathah', 'Muraqabah' dan 'Mu'atabah' tidak beriringan dengan 'Muhasabah'.

Khojah Abdullah Anshari (396-481 H) menganggap bahwa meniti jalan 'Muhasabah' tersebut hanya mungkin ketika telah bertekad untuk bertaubat. Beliau meyakini bahwa niat dan tekad itu memiliki tiga rukun:

1. membandingkan seluruh nikmat dan seluruh dosa;

2. menentukan hal-hal yang sifatnya datang dari hamba dan hal-hal yang datang dari Allah Swt;

3. mengenal dan mengetahui mana ketaatan dan mana maksiat.

Khojah Abdullah Anshari tidak pernah menjelaskan masalah 'Musyarathah' dan 'Muraqabah' tersebut berdampingan dengan 'Muhasabah', namun beliau menjelaskan 'Muraqabah' itu pada bab muamalah dan 'Muhasabah' pada bab awal pembahasan (Khojah Abdullah Anshari, Manazilus Sairin, hal. 39). Sayid bin Thawus (589-664 H) dalam bukunya, Muhabatun Nafs, mencoba mengisyarah kepada ayat-ayat serta riwayat yang ada hubungannya dengan 'Muhasabah'. Beliau menjelaskan tentang diperlihatkannya seluruh amal perbuatan pada hari senin dan kamis, tentang 'intropeksi diri' setiap malam, tentang doa-doa yang berkenaan dengan 'Muhasabah' dan 'intropeksi diri' pada akhir setiap malam. Dalam buku ini, Musyarathah, Muraqabah, dan Mu'atabah diterangkan berdampingan dengan Muhasabah (Sayid bin Thawus, Muhasabatun Nafs, hal. 13-31). Salah satu ulama di era ini, Sayid Abdullah Syabbar (1188-1242 H), dalam bukunya menjadikan bahasan 'Muhasabah' dan 'Muraqabah' tersebut menjadi dua pasal. Pasal pertama tentang 'Muhasabah' dan pasal kedua, mengenai 'Muraqabah', tanpa ada hubungan apa-apa diantara keduanya, namun beliau tidak membahas hal yang ada kaitannya dengan 'Musyarathah' dan 'Mu'atabah' (Sayid Abdullah Syabbar, Al Akhlaq, hal 284-287).

Sebagian pakar ilmu akhlak menempatkan 'Muhasabah' - tentunya dalam pengertian yang lain - di bawah tema yang lebih luas, yaitu 'Murabathah'; Abu Hamid Ghazali (wafat 505 H) menjelaskan pengertian 'Murabathah' dalam bukunya, Ihya 'Ulumuddin, dengan menyimpulkan dari ayat "Ishbiru wa Shabiru wa rabithu"(Qs. Ali Imran:200). Beliau menganggap bahwa 'Murabathah' memiliki enam maqam:

1. Musyarathah: pada awal waktu berjanji dengan diri untuk tidak berbuat hal yang bertentangan dengan aturan-aturan Allah Swt.

2. Muraqabah: mengawasi dan waspada terhadap perbuatannya pada siang hari, sesuai dengan niat, tekad dan janjinya.

3. Muhasabah: mengevaluasi diri dan jiwa tentang perbuatan dan amal yang telah dilakukannya di siang hari.

4. Mu'aqabah: memberi sanksi dan peringatan kepada dirinya atas dosa-dosa yang dilakukannya, dengan melakukan pembatasan-pembatasan.

5. Mujahadah: seperti halnya pada saat melakukan dosa, ia memberi sanksi dan peringatan pada diri dan jiwanya, maka ketika ia banyak lalai dari beribadah dan meninggalkan kewajiban yang mesti dilakukannya, maka ia memaksa dirinya untuk berusaha dan bekerja lebih keras lagi.

6. Mu'atabah: mencaci dan menghina diri dan jiwanya atas kesalahan-kesalahan dan dosa yang dilakukannya di siang hari.(Abu Hamid al Ghazali, Ihya 'Ulumuddin, jilid 4, hal 417-448).

Oleh karena itu, kendati pengertian Musyarathah, Muraqabah, Mu'atabah, Mujahadah dan Mu'aqabah tidak dijelaskan berdampingan satu sama lain, akan tetapi para ulama ilmu akhlak menganggap bahwa kesemuanya itu adalah hal yang saling melengkapi.


Peran 'Muhasabah' dalam Mendidik Jiwa dan Nafs
Ketilitian pada puluhan riwayat dan buku-buku akhlak menunjukkan bahwa 'Muhasabah' senantiasa bergandengan dengan beberapa kondisi psikologis. Kondisi-kondisi ini merupakan hal mendasar yang membuat 'Muhasabah' itu memiliki pengaruh dan efek dalam tarbiyah dan pendidikan moral dan akhlak. Setiap dari kondisi-kondisi ini memiliki peran masing-masing dalam merubah perbuatan-perbuatan dan akhlak setiap orang. Pentingnya 'intropeksi diri' itu nampak pada bahwa ia senantiasa bergandengan dengan himpunan kondisi-kondisi ini yang mana membuatnya lebih dalam memberikan dampak dan efek pada proses pendidikan moral dan akhlak. Dengan menelaah puluhan riwayat dan buku-buku akhlak, maka kondisi-kondisi psikis berikut ini dapat dijelaskan pada 'Muhasabah':


1. perasaan sudah diintropeksi
diantara perasaan-perasaan yang bisa sangat berpengaruh pada sikap dan perbuatan manusia adalah perasaan 'Sudah Diintropeksi'. Kalau seseorang percaya bahwa harus bertanggungjawab terhadap setiap perbuatan-perbuatan yang sifatnya kecil atau pun besar, fisik atau pun non-fisik, maka terhadap setiap dari hal itu harus diberi sanksi atau balasan, dengan alasan perbuatan jelek harus diazab dan dengan alasan perbuatan dan amal baik, maka ia harus diberi balasan pahala. Perasaan atau perhatian pikiran ini, betul-betul bisa menjadi salah satu penentu perbuatan dan amal manusia. Kendati pada psikologi, 'pengertian' atau 'aturan' secara khusus belum ditemukan dimana kenyataan ini menjadi bahan perhatian dan perasaan 'sudah diintropeksi' tersebut dianggap sebagai salah satu penentu sikap dan perbuatan manusia, akan tetapi pada sumber-sumber Islam, kenyataan ini telah berulangkali didengar dimana setiap manusia akan dihisab pada suatu hari dan seluruh amal dan perbuatannya akan ikut turut andil dalam proses penghisaban atau perhitungan ini (diantara ayat-ayat yang mengisyaratkan hal ini adalah: Al Baqarah: 235 dan 281, Ali Imran: 30, Al Kahfi: 49, Al Anbiya: 47). Penegasan-penegasan ini menunjukkan bahwa perasaan 'sudah dihisab dan diintropeksi' benar-benar bisa mempengaruhi sikap dan perbuatan manusia.

Oleh karena itu, salah satu unsure dan aspek yang membuat 'intropeksi diri' sebagai penawar pendidikan akhlak dan pertumbuhan spiritual manusia adalah perhatian terhadap perasaan 'sudah dihisab dan diintropeksi'. Seseorang yang mengintropeksi jiwa dan dirinya, menandakan aspek pengetahuan ini sedang aktif dalam dirinya dan mengetahui bahwa suatu hari dia akan dihisab dikarenakan amal dan perbuatan ini dan sekecil atau sebesar apa pun amal dan perbuatannya, akan menjadi bahasan perhitungan pada hari hisab tersebut (Qs. Zilzalah:7). Diantara prinsip-prinsip yang di dalamnya 'Muhasabah' sangat konsisten adalah kesiap siagaan manusia dalam mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan dan amalannya pada hari kiamat. Allah Swt memerintahkan kepada para malaikat untuk menyediakan, setiap dari amal dan perbuatan manusia, sebuah buku catatan amal dan buku catatan ini akan menjadi bahan kajian nanti di hari kiamat (Muhammad Ridha Mahdawi Kani, Nuqteh-hay-e Agaz dar Akhlaq-e Amali, hal. 356).

Al Qur'an menggandenkan 'intropeksi diri' tersebut dengan 'perhitungan seluruh amal' pada hari kiamat:"Hendaknya setiap orang melihat apa yang dikirimkan untuk hari esok dia dan bertakwalah kepada Allah Swt, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kalia lakukan"(Qs. Al Hasyr:18). Dan beberapa riwayat juga menganggap adanya korelasi antara 'intropeksi diri' dengan 'perhitungan' pada hari kiamat:"Hai Abu Dzar, hisablah dirimu sebelum engkau dihisab, karena hal itu akan mempermudah perhitungan di hari kemudian kamu. Timbanglah dirimu sebelum ia ditimbang dan bersiap-siaplah untuk hari yang sangat besar dimana hari itu tidak ada yang tersembunyi bagi Allah Swt"(Hurra Amili, Wasailus Syi'ah, jilid 16, hal 98). Mayoritas buku-buku akhlak juga - dalam masalah intropeksi diri - mengisyarah kepada ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang ada kaitannya dengan 'Muhasabah' (baca; perhitungan) hari kiamat (Abu Hamid Ghazali, Ihya 'Ulumuddin, jilid 4, hal 417; Muhsin Faiz Kasyani, Al Mahajjatul Baidha, jilid 8, hal 149; Mulla Muhammad Mahdi Naraqi, Jami'us Sa'adat, jilid 3, hal 92; Sayid Abdullah Syabbar, Al Akhlaq, hal. 284).

Ayat-ayat dan riwayat-riwayat ini menerangkan tentang falsafah dan tujuan 'intropeksi diri dan jiwa' tersebut dan menyampaikan kepada pemirsanya bahwa harus bersiap siaga menghadapi hari perhitungan yang lebih besar dan dengan alasan inilah, maka harus mengintropeksi diri dan jiwa ini; dengan kata lain, sebelum datang ujian yang besar, hendaknya lebih dulu mengadakan ujian tes kemampuan. Hal ini membuat motifasi seseorang meningkat untuk 'intropeksi diri' dan juga hal ini melahirkan sebuah bayangan dalam pikiran orang bahwa ia harus bersiap-siap mengahadapi ujian besar dan pertanggungjawaban yang luar biasa. Kekhawatiran dan rasa takut ini akan berperan lebih baik dalam menghidayahi setiap orang menuju sebuah perbaikan dan pendidikan moral dan akhlak.


2. efek dari adanya pengawasan langsung
diantara prinsip-prinsip yang 'intropeksi diri' dibangun diatasnya adalah dicatat dan direkamnya seluruh amal perbuatan dan adanya pengawasan langsung dari Allah Swt dan para malaikat (Muhammad Ridha Mahdawi Kani, Nuqteh-hay-e Agaz dar Akhlaq-e Amali, hal. 357). Ada banyak ayat dan riwayat yang bermacam-macam yang mengisyarahkan realitas ini dimana seluruh perbuatan manusia itu selalu berada dibawah sebuah pengawasan:"Tak ada seorang pun yang tidak dikawal oleh seorang penjaga"(Al Thariq: 4). "Tak ada sebuah kata pun yang dia ucapkan, kecuali disampingnya ada seorang pengawas yang senantiasa hadir"(Qaf:18). "Apakah mereka menyangka bahwa bahwa kami tidak mendengar rahasia dan bisikan mereka itu?! Iya! Para utusan kami hadir bersama mereka serta mencatat". Sumber-sumber agama menginformasikan kepada manusia bahwa ia selalu berada dalam sebuah pengawasan, seluruh tingkah lakunya, baik yang terang-terangan atau pun yang tersembunyi, senantiasa menjadi bahan kajian secara jeli dan teliti dan akan direkam serta dicatat. Dari sisi kejiwaan, 'perasaan selalu diawasi' mempengaruhi tingkah laku setiap manusia. Sekarang ini, pada metodologi berbagai penelitian, telah jelas bahwa salah satu problem yang membuat status penelitian menjadi turun dan melemah adalah 'hadirnya para pemirsa dan penonton' (Haidar Ali Hauman, Syenakht-e Ravesy-e Ilmi dar Ulum-e Raftari, hal. 246). Kalau orang-orang merasa bahwa seluruh tingkah lakunya itu berada dalam pengawasan dan ada orang-orang yang menyaksikan mereka, sikap dan perilaku mereka akan terpengaruhi dan menyebabkan terjadinya perubahan pada sikap dan tingkah mereka; berdasarkan hal ini, mungkin saja sikap dan tingkah yang nampak itu bukanlah sebuah realitas, akan tetapi ia nampak seperti hal yang direkayasa dan dibuat-buat.

Pada psikologi social juga menunjukkan eksperimen-eksperimen yang bermacam-macam bahwa disaksikan atau dilihat dan berbuat di hadapan orang lain, sangat dapat mempengaruhi sikap dan perbuatan setiap orang (Yusuf Karimi, Ravan Syenasi Ijtima'I, hal 64). Berdasarkan teori dampak social, besarnya pengaruh dan efek para pemirsa dan penonton pada sikap dan tingkah seseorang bergantung pada tiga factor berikut ini: semakin banyak kuantitas penonton dan pemirsa, maka semakin banyak pula dampak dan pengaruhnya, semakin dekat para penonton itu kepada seseorang, maka sikap dan tingkah orang tersebut akan lebih terpengeruh dan semakin tinggi status social pemirsa dan penonton, maka pengaruhnya terhadap tingkah laku seseorang akan semakin besar (Yusuf Karimi, Ravan Syenasi Ijtima'I, hal 65).

Oleh karena itu, 'intropeksi diri', dengan 'perasaan selalu diawasi dan disaksikan' memberikan pengaruh pada sikap dan tingkah seseorang dan akan mempermudah dalam mendidik pendidikan akhlak dan moral serta spiritual.


3. meningkatkan kesadaran diri
'Intropeksi diri' bisa menambah pengetahuan seseorang terhadap dirinya sendiri. Tanpa 'intropeksi diri', seorang akan lalai dari seluruh sikap dan tingkah lakunya. Terkadang mungkin saja seseorang memiliki kondisi yang lebih baik dan kondusif, namun karena pengaruh lemahnya kesadaran diri, maka ia akan berimajinasi negative tentang dirinya sendiri. Mungkin saja yang terjadi sebaliknya: seorang memiliki kondisi yang kurang baik dan tidak kondusif, namun karena pengaruh kelalaian ia menyangka bahwa ia memiliki tanggapan yang benar, akan tetapi 'intropeksi diri' bisa menyingkirkan orang dari kelalaian dan menambah kesadaran dirinya. "kesadaran diri, kemampuan mengenal diri dan karakter pribadi, kemampuan dan kelemahan, keinginan, dan rasa takut. Kedewasaan dalam kesadaran diri bisa membantu seseorang sehingga mengetahui apakah ia berada dalam kondisi stress atau tidak"(Falvar Qadhi Zadeh, Maqale-e Khud Agahi, Weblog: http://flor.blogfa.com/post2). Kesadaran diri memiliki dua keuntungan: pertama, mengetahui pemikiran-pemikiran sendiri yang dalam istilah psikologi disebut "di luar pengetahuan" dan yang kedua adalah, mengetahui akan berbagai perasaan, kecenderungan diri yang dalam istilahnya disebut "di luar penciptaan". Kesadaran diri juga bisa mencakup dua pengetahuan internal; mengetahui tentang berbagai pengetahuan dan kepercayaan dan mengetahui tentang berbagai perasaan (Danial Galman, Husy Hayajani, hal 77).

Kesadaran diri, yang mana ia diperoleh melalui 'intropeksi diri', lebih universal dari pada pengertian dan makna psikologinya, karena makna diatas, dimana ia dijelaskan untuk 'kesadaran diri', khusus untuk kondisi-kondisi pengetahuan dan perasaan internal, sementara 'kesadaran diri' yang bersumber dari 'intropeksi diri' mencakup seluruh aktifitas dan pekerjaan, berbagai perasaan dan pengetahuan. Ilmuan akhlak telah memperkenalkan bahwa seorang pengintropeksi, selain mengevaluasi seluruh aktifitas dan perbuatan lahiriah dirinya, ia juga mengevaluasi segala apa yang terlintas dalam pikirannya, pemikirannya, kepercayaan, pikiran maksiatnya dan lain sebagainya (Sayid Abdullah Syabbar, Ibid, hal 285; Mulla Ahmad Naraqi, Mi'rajus Sa'adah, hal. 593; Mulla Mahdi Naraqi, ibid, hal. 89-99). Jadi, 'intropeksi' juga bisa menambah dan memperluas berbagai dimensi diri seseorang seperti pengetahuan, perasaan dan sikap serta kesadaran diri.

Dalam Al Qur'an - setelah menyebutkan perintah tentang 'intropeksi diri' - dikatakan bahwa jangan sampai kalian seperti orang yang telah melupakan Allah Swt dan Allah Swt pun membuat mereka lupa diri (Qs. Al Hasyr:18-19). Oleh karena itu, perhatian terhadap hari kiamat dan beramal untuk hari kemudian, bisa menyebabkan seorang tidak akan lupa kepada Allah Swt dan akhirnya, dia pun tidak akan melupakan dirinya dan kesadaran dirinya pun akan meningkat."Terkait dengan masalah ini, Al Qur'an dengan sangat transparan menyatakan bahwa melupakan Allah Swt bisa menyebabkan lupa pada diri sendiri. Alasannya pun sangat jelas, karena dari satu sisi lupa dan lalai kepada Allah Swt dapat menyebabkan manusia tenggelam dalam kelezatan dan kenikmatan syahwat dan ia pun menjadi lupa akan tujuan dari penciptaan dirinya dan pada akhirnya, ia pun menjadi lupa dan lalai dengan perbekalan yang cukup untuk hari kemudian"(Nashir Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jilid 23, hal. 540). "Orang seperti ini lupa kepada Allah Swt dan kembalinya keharibaan Dia dan menghindar dari memperhatikan Allah Swt dan memperhatikan yang lain. Hasil dari semua itu adalah dia pun lupa dengan dirinya sendiri."(Allamah Thabathabai, Tarjume-e Tafsir Al Mizan, jilid 19, hal. 378). Seseorang yang lupa dengan dirinya, kesadaran dirinya pun lemah, yakni ia juga lupa dan lalai dengan posisinya sebagai hamba dan tidak punya perhatian bahwa suatu hari ia harus mempertanggungjawabkan dirinya dan ia juga lupa dengan kondisi dirinya yang sekarang ini, yakni tidak punya perhatian tentang kondisi bagaimana perbuatan baik serta dosa-dosanya; jadi ia memiliki kesadaran diri yang lemah. Dengan demikian, 'intropeksi diri' menyebabkan kesadaran dirinya lebih meningkat dan akan lebih memahami bahwa ia berada pada posisi orang muslim yang bagaimana.

Dalam untaian hikmah Imam Ali as, 'lalai terhadap diri' itu memiliki posisi yang berlawanan dengan 'intropeksi diri': "Barangsiapa yang mengevaluasi dirinya, maka akan beruntung dan barangsiapa yang lalai dengan dirinya, maka akan merugi"(Nahjul Balaghah-e Bun-yad, Qashar 199). Jadi 'intropeksi diri' dimana merupakan sebuah bentuk dan jalan keluar dari kelalaian, berperan sebagai penambah kesadaran diri. Sejatinya, dalil adanya penegasan atas 'intropeksi diri' yang ada dalam banyak ayat dan riwayat adalah supaya masyarakat tersadar dan bangkit dari kelalaiannya dan menanam serta mempersiapkan bekal untuk kehidupan di kemudian hari (Mahdi Kani, ibid, hal 382).

Sampai pada saat ini, kita konklusikan bahwa 'intropeksi diri' menyebabkan bertambah dan meningkatnya kesadaran diri, sementara 'kesadaran diri' memiliki dampak positif pada perbaikan aktifitas dan amal seseorang, karena seseorang tahu tentang dirinya dan kalau ia merasa ada kekurangan pada dirinya, maka akan berusaha menghilangkan dan memenuhi kekurangan tersebut. Demikian pula ia akan mengetahui berbagai potensi dan kemampuannya serta kelemahan dirinya dan dengan menggunakan potensi dan kemampuan tersebut, ia akan memperbaharui kondisi dirinya.


4. menghargai waktu
seseorang yang siang dan malam mengintropeksi serta mengevaluasi berbagai amal dan perbuatannya, sangat menyadari akan pentingnya umur dan waktu. Al Qur'an mengingatkan yang isinya kurang lebih bahwa: hendaknya setiap manusia memandang bahwa kelak apa yang akan berlaku dikemudian harinya (Qs. Al Hasyr:18). Kata 'Besok' dalam ayat tersebut mengisyarah kepada pentingnya waktu. Secara mendasar dengan alasan inilah Allah Swt memerintahkan kepada kaum mukmin untuk mengintropeksi dirinya dan mengawasi segala bentuk amal dan aktifitasnya yang mana dipersiapkan untuk hari kiamat nanti. Demikian dekatnya peristiwa hari kiamat sehingga Allah Swt mengibaratkannya dengan kata-kata 'Besok'. Allamah Thabathabai menuturkan: maksud daripada 'Besok' adalah hari kiamat. Dan alasan kenapa ia dita'birkan sebagai 'Besok', karena demikian dekatnya peristiwa tersebut (Allamah Thabathabai, al Mizan fi Tafsiril Qur'an, jilid 19, hal 218). Kemudian Allamah bersandar pada ayat berikut ini: "Mereka melihat kiamat itu sangat jauh, sementara kita melihatnya sangat dekat."(Qs. Al Ma'arij:6 dan 7).

Oleh karena itu, ungkapan 'Besok' menunjukkan betapa sedikitnya peluang dan waktu dan dengan itu, orang-orang harus selalu mengawasi segala amal dan perbuatannya dan mempersiapkan diri untuk hari kemudian yang sangat dekat tersebut. Dengan melihat poin bahwa 'intropeksi diri' merupakan sebuah perintah yang sumbernya dari agama kepada kaum muslimin, ketika mereka mengintropeksi dan mengevaluasi dirinya maka otomatis mereka pun akan sangat memperhatikan kepada konsekuensi-konsekuensinya; yaitu pentingnya waktu dan persiapan bekal untuk hari kemudian. Imam Ali as - ketika menjelaskan bagaimana 'intropeksi diri' tersebut - mengajak para pendengar untuk melihat betapa pentingnya waktu ketika mengintropeksi diri (Wasailus Syi'ah, jilid 16, hal 98).

Para ulama akhlak pun sangat memperhatikan pentingnya waktu ketika mengintropeksi diri dan mengingatkan kepada para pendengarnya bahwa betapa pentingnya yang namanya waktu itu. Faiz Kasyani menuturkan:"Jangan sekali-kali lalai dari 'intropeksi diri', bahkan hendaknya mengawasi segala gerak gerik, diam, imajinasi dan khayalan serta langkah-langkah jiwa dan diri, karena setiap nafas dan nafas-nafas umur mengandung mutiara yang sangat berharga dimana ia tidak memiliki sebuah harga jelas dan bisa dibeli dengan harta karun yang bernilai tinggi. Kalau setiap detik dari umur ini terbuang begitu saja, maka betapa besar kerugian yang akan menimpa seseorang dimana seorang yang berakal tidak akan mungkin merelakan dirinya pada itu (Muhsin Faiz Kasyani, ibid, jilid 8, hal 152).

Dari sini, 'intropeksi', membuat seseorang sadar akan pentingnya waktu; ketika seseorang telah memahami betapa pentingnya waktu maka pemahamannya akan mempengaruhi segala sikap dan tingkahnya dan ketika itu seseorang akan senantiasa mengawasi dan mewaspadai segala amal dan perbuatannya dan akan menjadi lebih santai dalam mengawasi perbuatan-perbuatannya. Seseorang yang mengintropeksi dirinya, seperti halnya dia dalam kondisi sedang mengikuti ujian masuk perguruan tinggi dimana waktunya demikian dekat. Sangat wajar pada kondisi ini seseorang tidak akan berani berbuat seenaknya saja dan akan berusaha dengan segala kemampuan dan usahanya untuk mempersiapkan diri mengahadapi ujian tersebut. Perhatian terhadap pentingnya waktu dan adanya perhitungan pada hari kiamat akan melahirkan serta mewujudkan perasaan semacam ini pada diri seseorang dan perasaan ini terjadi ketika seseorang mengintropeksi dirinya dan juga akan berpengaruh pada segala amal dan perbuatannya.


5. mengevaluasi diri dan amal perbuatan
Salah satu kegiatan yang dilakukan ketika sedang mengintropeksi diri adalah mengevaluasi serta menelaah seluruh amal perbuatan yang dilakukan setiap hari. Imam Ali as menyabdakan yang intinya adalah tentang cara 'intropeksi diri' dimana menjadikan diri dan jiwanya sebagai lawan bicara bahwa pekerjaan apa saja yang telah dilakukan hari ini (Wasailus Syi'ah, jilid 16, hal 98). Untuk intropeksi, hal yang harus didahulukan adalah terkait dengan hal-hal yang wajib, lalu kemudian melihat tentang dosa-dosa apa saja yang telah dikerjakannya. Demikian juga ia harus memberi perhatian terhadap masalah keuangan dan ekonomi dan juga harus mengevaluasi hal-hal yang melintas di pikiran, berdiri, duduk, tidur, makan, minum dan bahkan diamnya (Sayid Abdullah Syabbar, ibid, hal 285; Mulla Ahmad Naraqi, Mi'rajus Sa'adah, hal 593). Jadi 'intropeksi diri' itu dibangun atas beberapa hal diantaranya menimbang dan mengukur seluruh amal dan aktifitas (Muhammad Ridha Mahdawi Kani, ibid, hal 353). Seseorang ketika melakukan intropeksi diri dan ingin melihat apakah perbuatannya baik atau buruk, maka ia harus mengukur seluruh amal dan perbuatannya. Menurut kacamata psikologi, bahwa mengukur serta menimbang perbuatan secara otomatis memiliki dampak yang sifatnya membangun.


6. membandingkan amal perbuatan dengan parameter syar'i
Dalam intropeksi, seseorang mengukur seluruh perbuatannya dengan parameter yang telah ditetapkan sebelumnya. Islam memperkenalkan perbuatan-perbuatan khusus itu sebagai sesuatu yang baik dan yang selainnya dianggap buruk. Seseorang yang melakukan intropeksi diri, tentunya ia mengenal amal perbuatan tersebut dan menganggapnya sebagai 'parameter yang telah ditetapkan terdahulu'. Kemudian disamping intropeksi, ia pun menimbang serta membanding-bandingkan seluruh amalnya itu dengan parameter-parameter tersebut dan menyaksikan bahwa sejauh mana amal perbuatannya itu sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari'at. Imam Ali as menyatakan:"Lihatlah apa yang telah kamu kerjakan hari ini. Apakah kamu mengingat Allah Swt? Apakah kamu memuji-Nya? Apakah kamu telah memenuhi kebutuhan seorang mukmin? Apakah kamu membantunya untuk menyelesaikan masalahnya? Apakah kamu menjaga keluarga dan anak-anaknya ketika ia sedang pergi? Apakah kamu memperhatikan orang-orang yang ditinggalkannya ketika ia meninggal? Apakah kamu mencegah dari menggibah saudaramu yang mukmin? Apakah kamu telah menolong seorang muslim? Pekerjaan apa saja yang telah kamu lakukan di hari ini?."(Wasailus Syi'ah, jilid 16, hal 98).

Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa Imam Ali as telah menjelaskan beberapa contoh dari perbuatan baik tersebut sehingga seseorang bisa membandingkan amal perbuatannya dengan hal tersebut. Kalau saja parameter ini tidak ada, pengukuran amal akan menjadi tak beraturan dan pada puncaknya akan masuk pada wilayah yang sifatnya personal dan setiap orang bisa memiliki kesimpulan yang berbeda dari yang lainnya; sebagai perumpamaan bahwa seseorang yang setiap harinya sibuk dengan aktifitas propesinya dan kebiasaannya, mungkin saja akan merasa bahwa ia melakukan pekerjaan yang baik, akan tetapi Imam Ali as telah menetapkan tentang parameter pekerjaan dan perbuatan baik itu dan mengatakan intropeksilah diri dan lihatlah apakah kamu mengingat Allah Swt? Apakah kamu memujinya? Apakah kamu telah membantu yang lain? Apakah kamu telah membela dan mendukung saudaramu yang mukmin dan lain-lain.

Ketika seseorang membandingkan dan mengukur seluruh amal perbuatannya dan itu pun dengan sebuah parameter, maka itu akan menambah peluang berubah serta membaiknya seluruh amal dan aktifitas, karena pada langkah pertama kesadaran dan pengetahuan seseorang terhadap perbuatan-perbuatannya semakin meningkat. Dan akan menemukan bahwa perbuatan dan amal baik mana yang telah ditetapkan dalam syari'at, telah dilakukannya dan yang tidak. Bertambahnya kesadaran diri pada semua amal perbuatan tersebut membuat lowongan untuk perbaikan dan perubahan kondisi seseorang. Pada langkah kedua, ketika seseorang membandingkan, ia seakan-akan ia sedang menimbang-nimbang amal perbuatannya. Menimbang dan mengevaluasi berbagai perbuatan, itu mengandung dampak positif pada perbaikan sikap seseorang. Dengan demikian, menimbang-nimbang seluruh amalan dan perbuatan itu dengan sebuah parameter khusus, itu memiliki dampak yang membangun.


7. merasa sukses dan berterima kasih kepada Allah Swt
puluhan riwayat yang bermacam-macam dan juga berbagai buku-buku akhlak yang telah menerangkan bahwa seseorang, setelah muhasabah dan intropeksi, ketika menyadari bahwa pekerjaan dan perbuatan yang dilakukannya itu positif, maka ia akan langsung berterima kasih kepada Allah Swt. Seperti sebelumnya bahwa Imam Ali as menyatakan: "yakni kalau setelah pelaksanaan intropeksi diri, ia sadar dan tahu bahwa yang dilakukannya adalah pekerjaan yang sifatnya baik, dengan taufik inilah, ia memuji Allah saw mengagungkannya (Wasailus Syi'ah, jilid 16, hal 98). Imam Kazhim as bersabda:"yakni kalau setelah intropeksi baru ia sadar dan tahu kalau ia telah melakukan pekerjaan yang baik, maka ia akan mengharap supaya Allah Swt menambahkannya" (Al Kafi, jilid 2, hal. 354). Imam Khomeini pun menuturkan bahwa:"Kalau kamu tahu bahwa telah berbuat dan beramal sesuai dengan tuntunan syari'at, hendaknya kamu bersyukur karena taufik ini dan ketahuilah bahwa sanya kamu telah mengalami kemajuan selangkah" (Imam Khomeini, Syarh-e Cehl Hadits, hal 10).

Oleh karena itu, ketika seseorang selesai dari melakukan intropeksi diri dan tahu serta sadar bahwa dirinya telah mengalami kondisi yang cukup progresif dan sukses dalam menunaikan kewajiban agamanya, maka ia akan merasa telah mengalami kesuksesan dan telah siap melakukan hal yang lebih dari itu.


8. tekad untuk berubah (taubat)
Seseorang yang ingin aktif melakukan intropeksi diri, sesuai dengan tuntunan buku-buku akhlak, pertama ia harus menyaratkan kepada dirinya untuk tidak lagi melakukan dosa. Kemudian senantiasa waspada jangan sampai berbuat kesalahan lantas yang terakhir, ia harus mengoreksi serta mengevaluasi seluruh amal perbuatannya di setiap akhir waktu. Tentunya pribadi seperti ini, telah bertekad terlebih dahulu untuk mengadakan perubahan. Khajah Abdullah Anshari mendeskripsikan hal ini dengan menuturkan bahwa:"Intropeksi diri hanya bisa dititi setelah betul-betul bertekad melakukan taubat" (Manazilus Sairin, hal. 39). Taubat yakni perubahan dan niat serta tekad untuk bertaubat adalah berniat dan bertekad untuk mengadakan perubahan. Tentunya niat dan tekad ini terjadi sebelum proses intropeksi.

Niat serta tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa yakni memiliki motifasi untuk mengadakan perubahan. Seseorang yang telah berniat dan bertekad untuk tidak mendekati yang nama dosa, sejatinya ia telah bertekad untuk merubah dirinya, menjadi orang yang berbeda dari yang dulu, melakukan amal perbuatan yang berbeda dengan yang lalu. Menurut tinjauan psikologi, niat dan tekad semacam ini sangat bernilai, karena pertama seseorang telah menemukan motifasi untuk merubah dan kemudian berniat serta bertekad untuk merubah dirinya. Motifasi semacam ini cukup maksimal dalam memberikan kesiapan terhadap seseorang dalam melakukan perubahan serta memiliki peran dan efek yang cukup banyak dalam memperbaharui sikap dan perbuatan seseorang. Intropeksi diri melalui media motifasi perubahan, dapat melahirkan peran yang luar biasa dalam pendidikan akhlak dan moral seseorang.


Poin Terakhir
Dalam masalah intropeksi, seseorang beusaha mengkaji serta menilai seluruh amal perbuatannya. Demikian pula, ia akan melakukan hal yang sama terhadap parameter-parameter yang dijadikan seseorang sebagai landasan untuk sampai kepada tujuan dan maksudnya; oleh karena itu, mungkin saja hal ini punya hal-hal yang bisa membahayakan diri seseorang. Penilaian yang tidak objektif mungkin saja bisa membuat intropeksi tersebut tak punya dampak apa-apa dan seseorang tidak akan sampai pada hasil yang diharapkan setelah mengadakan intropeksi. Allamah Thabathabai dalam menafsirkan ayat al Qur'an Surah Al Hasyr ayat 18, menuturkan bahwa:"dalam ayat ini, Allah Swt memerintahkan sebanyak dua kali untuk bertakwa: adapun maksud dari perintah takwa yang pertama adalah, hendaknya seseorang senantiasa menjaga takwa dalam melakukan amal perbuatan, dan adapun maksud dari perintah takwa yang kedua adalah, hendaknya seseorang senantiasa menjaga takwa dalam mengintropeksi diri" (Allamah Thabathabai, Al Mizan fi Tafsiril Qur'an, jilid 19, hal 219). Jadi hendaknya seseorang teliti dalam intropeksi diri sehingga bisa punya dampak dan hendaknya juga punya keinginan untuk mengadakan perubahan ke arah yang lebih baik.


Intropeksi diri yang tidak memberikan hasil yang gemilang
1. mengkaji kondisi yang ada juga harus dilakukan secara objektif tanpa diserta dengan sikap yang berlebih-lebihan. Kalau seseorang lebih banyak mengevaluasi dan menilai seluruh perbuatannya itu lebih rendah dari apa yang diharapkan, maka penyingkapan antara kondisi yang diharapkan dengan kondisi yang ada sangatlah jauh. Seseorang akan merasa bahwa ia tidak akan sukses. Dengan ini, ia akan terjatuh dan akan terkalahkan dan puncaknya intropeksi diri tidak bisa berjalan dengan sukses.

2. ketika seseorang menjadikan parameter-parameter syari'at sebagai bahan perbandingan. Kalau seseorang memiliki penilaian yang berlebih-lebihan terhadap parameter-parameter ini, maka ia tetap akan merasa bahwa amal perbuatannya sangat jauh dari apa yang syari'at inginkan. Dengan ini, mungkin saja usahanya yang kontinitas itu tidak akan bisa mengurangi jarak yang ada antara kondisi yang sekarang dengan kondisi yang lebih baik dan yang diharapkan, dan seseorang akan terperangkap pada kondisi kehilangan motifasi.

3. intropeksi diri harus berakhir pada adanya perubahan dalam bertindak dan beramal, yakni setiap harinya seseorang mengintropeksi diri dan akan merasa bahwa kondisi dirinya akan mengarah kepada perbaikan. Akan tetapi, kalau amal perbuatan tetap tidak mengalami perubahan dan seseorang hanya sekedar mengevaluasi dan menilai berbagai aktifitasnya dan menyaksikan bahwa ia punya jarak yang jauh dengan kondisi yang baik serta yang diharapkan, maka hal ini munkin saja dapat membuat seseorang tidak termotif lagi dan akan merasa bahwa intropkesi diri tidak lagi bisa mengobati luka dirinya; oleh karena itu, hendaknya hal itu dihindari dan jangan sekali-kali lagi mendekatinya. Jadi, semestinya ia betul-betul melaksanakn intropeksi dan setelah melakukan intropeksi, seseorang harus bertaubat dan berniat serta bertekad meninggalkan berbagai perbuatan dosa, lantas kemudian menjadikan perbuatan beramal sebagai uswah dan semoga Allah Swt memberikan taufik kepadanya.


Penutup
Tujuan dari makalah ini, menjelaskan peranan intropeksi diri dalam mendidik akhlak. Ada delapan kondisi psikis yang diserta dengan intropeksi diri yang terjadi pada diri seseorang. Kondisi-kondisi semacam ini bisa menyebabkan terjadinya perubahan dalam sikap dan perbuatan seseorang dan dapat memberikan pengaruh pada pendidikan akhlak dan moral. Perasaan telah dihisab pada hari kiamat merupakan sebuah kondisi psikis dimana hal ini terjadi pada seseorang ketika sebelum intropeksi diri dan memberikan motifasi kepanya supaya tetap mewaspadaikan segala tingkah lakunya. Pada intropeksi, seseorang akan merasa bahwa dirinya sedang diawasi oleh Yang Maha Ghaib (Allah Swt) dan para malaikat-Nya dan perasaan ini akan sangat berpengaruh pada sikap dan perbuatannya. Pada intropeksi diri, kesadaran seseorang akan semakin meningkat dan mempersiapkan lahan untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Dalam intropeksi, seseorang secara otomatis akan lebih menghargai waktu dan dengan ini, ia senantiasa mempersiapkan diri dalam menggunakan waktu secara efektif dan efisien. Dan lain sebagainya sebagaimana telah dijelaskan pada bagian-bagian yang lalu.

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Islam dalam ALKITAB [1]
Siapakah ayah Ibrahim yang sebenarnya?
Apakah sebelum Islam berkembang di Mekah, disamping ada penyembahan berhala ada juga ...
Siapakah orang yang mengantarkan makanan kepada Nabi Muhammad Saw selama beliau berada di ...
Apa alasan Nabi Khidir membunuh seorang anak kecil?
Apa bedanya antara tahwil, tabdil dan nasakh?
Kapan dan pada masa siapa Bunda Maryam dan Bunda Asiyah Sa wafat? Dimanakan keduanya ...
Al-Qur’an ditinjau dari tiga aspek merupakan mukjizat, 1. Lafaz; 2. Kandungan; 3. ...
Siapakah nama ibu kandung Nabi Ibrahim As?
Apa makna kuniyah itu? Dan apa maksud Abu al-Qasim yang dijadikan sebagai kuniyah ...

 
user comment