Indonesian
Thursday 18th of April 2024
0
نفر 0

Seni Kematian

Manusia, pada galibnya, selalu menutup-nutupi dirinya dengan berbagai kebohongan. Manusia secara terus-menerus bersembunyi di balik berbagai kedok untuk menyembunyikan jati dirinya. Pelbagai alasan dapat diketemukan mengapa
Seni Kematian

Manusia, pada galibnya, selalu menutup-nutupi dirinya dengan berbagai kebohongan. Manusia secara terus-menerus bersembunyi di balik berbagai kedok untuk menyembunyikan jati dirinya. Pelbagai alasan dapat diketemukan mengapa manusia ingin menyembunyikan dirinya. Hanya ada dua keadaan di mana manusia mesti membuka kedoknya, yaitu keadaan yang mencekamnya dan kematiannya. Sudah pasti kematian adalah keadaan yang paling mencekam pada manusia. Dalam kedua keadaan inilah seseorang bisa tampak secara telanjang dan kita berkesempatan melihat wajah hakikinya.

Ketika mengetahui tanda-tanda kematian, manusia menjadi tulus, murni, dan suci. Di saat sakaratul maut, setiap orang adalah dirinya sendiri. Ketakutan akan kematian membuat manusia ngeri sedemikian rupa sehingga tidak sempat lagi mencari-cari tutup  dan kedok yang dipakainya sepanjang hidupnya. Peristiwa itu sungguh besar sehingga orang-orang besarpun menjadi kecil. Karena tersentak dan kagum, ruh keluar dari persembunyian manusia.

Kematian itu sendiri merupakan suatu seni yang perlu diketahui dan dipelajari. Ia merupakan suatu pertunjukkan yang sangat indah dan dalam. Ia adalah suatu tontonan spektakuler dalam kehidupan. Manakala kita membuka lembaran-lembaran sejarah, maka kita akan menemukan bahwa ada beberapa orang yang kematianya begitu luar biasa. Kematian Nabi, Imam Ali, Fathimah, Hasan dan Husein dapat dikatakan sebagai pentas-pentas kematian yang sungguh monumental.

Pembasmiannya terhadap si muda belia tidak lebih lambat ketimbang terhadap orang tua bangka. Ada saat-saat di mana maut menciptakan kisah horor yang sungguh menakutkan dan ada saat-saat di mana maut menebarkan keharuan yang menyayat sukma.

Kehidupan ini adalah sebuah pengkhianatan besar. Ia tidak pernah memberitahu kedatangan maut yang menggerumit. Kehidupan ini tidak pernah mengalahkan para malaikat maut yang berkelebat mencabut ruh manusia. Kematian jauh lebih berkuasa ketimbang kehidupan, hingga semua isi kehidupan ini takluk di hadapan kekuatannya dan pergi menghadapnya. Maut selalu menduduki segenap posisi dalam kehidupan, tapi kehidupan tak pernah barang sekejappun melintas di kerajaan maut.

Sungguh tak pernah ada yang kekal ihwal kehidupan ini, tak pernah ada yang lolos dari tipu dayanya, aman dari godanya, selesai dari tugasnya, tentram bhatinnya dan puas syahwatnya.

Kehidupan adalah gelombang laut kematian yang selalu menerpa para penumpang kapal yang berlayar di atasnya. Sekuat apa sebuah kapal dapat bertahan di lautan yang amat dahsyat ombaknya. Lautan yang penuh dengan hiu, paus, karang dan badai besar yang selalu datang menerpanya. Seberapa lama penumpang yang terombang-ambing oleh ombak dan badai laut yang meyudutkan, menggolengkan, menampar, melontarkan, membanjirkan dan membuang makanan yang tersisa dapat bertahan lama di dalamnya?

Sejauh mana tujuan yang ingin dicapai para penumpang dengan perahu tua yang sudah jenuh dipakai? Perahu yang sudah banyak dirusak mereka sendiri. Perahu yang penuh dengan lubang dan tambalan. Perahu yang bernahkodakan “banci-banci” yang berjiwa pengecut dan berawakkan anak-anak yang berotak udang.

Sejarah menyebutkan bahwa bangsa-bangsa terdahulu yang lebih panjang usianya, lebih kokoh tubuhnya, lebih garang perawakannya, lebih makmur tempat tinggalnya, lebih banyak keahliannya dan lebih hebat peninggalannya sama sekali tidak kuasa menghadapi panah-panah kematian yang datang menghunjam.

Sungguh mengherankan, tidak pernah ada yang mendahului tanda-tanda kematian secara pasti. Rahasia Tuhan yang satu ini benar-benar terjaga rapi dalam khazanah-Nya. Beratus ribu tahun lamanya makhluk yang satu ini berkeliaran di dunia tanpa ada seorangpun mengenali wajahnya. Jelas bahwa kematian adalah makhluk Allah yang mempunyai kedok yang tak terhingga jumlahnya.

Kematian adalah fenomena yang jauh lebih sederhana daripada kehidupan, hingga jauh lebih halus daripadanya. Wajah kematian tak lain adalah wajah dari jiwa manusia itu sendiri. Wajah kematian tampil sebagai titik paling terang dalam kehidupan manusia yang membongkar semua kegelapan, kesamaran dan kedok-kedok hidup manusia.

Benar bila ada yang berkata bahwa kalau kita ingin mengenali seseorang secara sempurna, maka saksikan di saat maut merambat kepadanya. Apakah maut itu adalah sahabatnya yang datang dengan wajah berseri atau musuhnya yang datang bermuka masam.

Namun demikian, sejarah telah memampang wajah-wajah kematian yang mengundang takjub dan kesima kita semua. Wajah kematian yang datang pada Nabi Muhammad adalah wajah yang datang dengan senyum lebar dan kilauan cahaya yang memancar. Wajah kematian Muhammad sungguh tiada tara dan tiada terlukiskan. Muhammad adalah manusia yang tiada dapat dibinasakan oleh apa pun. Bahkan, kematian datang untuk menghidupkannya bukan untuk membunuhnya. Dengan gemetaran, kematian mengapit kedua tangannya dan mengantarkannya menjumpai kekasihnya yang abadi.

Keagungan yang luar biasa memancar dari kepribadian Imam Ali pada detik-detik akhir menjelang kematiannya. Kematiannya yang begitu indah terlukis dalam berbagai wasiat akhir yang diucapkannya. Dalam wasiatnya beliau berpesan, “Perlakukanlah tawananmu (Ibnu Muljam) dengan baik wahai anak-anak Abdul Muththalib! Sepeninggalkau, jangan kalian ribut dan berperang dengan masyarakat. Janganlah kalian menuduh atau menunjuk si fulan dan si fulan sebagai biang keladi atau turut serta dalam pembunuhan. Ingatlah bahwa pembunuhku telah berhasil kalian tangkap!”

Pada saat yang berbeda, Imam Ali berpesan kepada Imam Hasan demikian, “Anakku Hasan! Setelah aku tiada, kuserahkan Ibnu Muljam padamu. Bila kau ingin membebaskannya, bebaskanlah. Bila tidak dan kau ingin meng-qishash-nya, maka ingatlah bahwa dia memukul ayahmu dengan satu pukulan. Karenanya, pukullah dia sekali saja, jika dia mati dengan sekali pukulan, maka biarkanlah ia, jika tidak, maka biarkanlah dia bebas pergi!”

Pada saat-saat yang menyentuh hati tersebut, semua berkumpul mengitari tikar tempat Imam Ali dibaringkan. Lambat laun, racun semakin melemahkan badan beliau. Beliau selalu dalam keaadan sebentar sadar sebentar pingsan. Dalam keadaan sadarnya, mengalirlah kata-kata mutiara, nasihat, saran dan mau’zhah dari mulut suci beliau.

Setelah selesai mengutarakan semua pesannya, orang-orang yang berada di sekeliling beliau memusatkan padangannya ke bibirnya yang suci. Mereka semua menyaksikan begitu banyak keringat yang mengucur dari tubuhnya yang menandakan bahwa reaksi racun telah merebak ke sekujur peredaran darahnya.

Imam Ali mulai memejamkan matanya. Mereka semua terdiam seribu bahasa. Tak seorangpun dari mereka yang sanggup membuka mulut. Tiba-tiba, syahadah Ali bin Abi Thalib dan terangkatnya ruh suci beliau serta-merta memecah keheningan tersebut. Suara tangisan membumbung ke angkasa raya. Dan berakhirlah kisah seorang manusia sempurna ini dengan suatu kesempurnaan yang memaksa kita untuk selalu mengingatnya. Sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa salah satu tanda kesempurnaan manusia adalah bagaimana sikap dan sambutannya saat menyongsong maut. Orang besar bukan hanya tidak takut menghadapi kematian, tapi bahkan dengan senang hati menjemputnya. Jika mau mendatanginya saat dia melaksanakan tanggungjawabnya, maka baginya itulah kebahagiaan dan keberuntungan tertinggi.[]


source : alhassanain
0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Filosofi Peringatan Acara Hari Ketiga, Ketujuh, Keempat Puluh dan Haul Kematian
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Isra Ayat 1-2
Tanya Jawab mengenai Syafaat dalam Al-Quran
Mengapa Abdul Mutthalib memberikan nama anaknya dengan nama Abdul Uzza?
Apakah makna ibdâ’? Apakah ibdâ’ itu merupakan salah satu sifat Tuhan?
Dosa-dosa Besar dan Dosa-dosa Kecil (4) Wilayah dan Ketaatan
Tafsiran Tauhid Filosofis dan Irfani dalam Surah Tauhid
Ayatullah Behjat Berbicara tentang Imam Mahdi
Meski Zaid bin Ali as-Sajjad adalah dari Ahlulbait, tetapi mengapa ia mengakui ...
Rahasia Peletakan Kata dalam Al-Qur’an

 
user comment