Indonesian
Friday 19th of April 2024
0
نفر 0

[Momentum] Beribadah dengan Mengingat Ali bin Abi Thalib

Ibadah dapat diekspresikan dengan pelbagai cara. Salah satu cara ekspresi ibadah itu adalah mengingat para wali Allah sebagai perwujudan cinta kepada Allah Swt. Dalam hadis nabawi disebutkan bahwa mengingat Ali adalah ibadah. Mengingatnya akan mengantarkan kita kepada sebuah mata air kecemerlangan karena darinya bersumber pelbagai keutamaan, keb
[Momentum] Beribadah dengan Mengingat Ali bin Abi Thalib

Ibadah dapat diekspresikan dengan pelbagai cara. Salah satu cara ekspresi ibadah itu adalah mengingat para wali Allah sebagai perwujudan cinta kepada Allah Swt. Dalam hadis nabawi disebutkan bahwa mengingat Ali adalah ibadah. Mengingatnya akan mengantarkan kita kepada sebuah mata air kecemerlangan karena darinya bersumber pelbagai keutamaan, kebaikan, dan kesempurnaan. Mengingat Ali, sebagaimana Carlyle, yang menandaskan bahwa "Mau-tak-mau, kita telah dibuat cinta kepada Imam Ali. Betapa dia adalah seorang ksatria besar dan punya karakteristik yang tinggi. Hati nuraninya telah menjadi sumber yang mengalirkan kasih sayang dan kebajikan. Dia seorang yang pemberani, namun keberaniannya larut dengan kasih sayang dan kelembutan hati." Atau di tempat lain ia mengatakan, "Kami tidak sanggup menahan kata-kata kami untuk memuji dan menyanjung Ali. Dia adalah ksatria besar nan agung. Dia adalah sumber rahmat, kebaikan serta manifestasi sebuah kebesaran, keberanian dan kelembutan. Atau ungkapan perasaan George Jordac, dalam Voice of Human Justice, yang indah dan menawan tentang sosok malaikat yang berbentuk manusia Ali bin Abi Thalib, "Wahai zaman, andaikan dengan segala kekuatanmu….. Wahai jagat raya, andaikan dengan segala kesanggupanmu engkau bisa menciptakan sosok pahlawan besar, maka sekali lagi ciptakan manusia seperti Ali, sebab zaman memerlukan orang seperti Ali."

Mari kita nyatakan ibadah hari ini dengan mengingat Ali bin Abi Thalib yang padanya selangit keutamaan khususnya pandangannya tentang ibadah kepada Allah Swt. Sebagaimana ibadah yang dilakukan oleh para haji mengelilingi Ka'bah, mari kita beribadah mengingat Sang Putra Ka'bah dengan menyoroti masalah ibadah dalam pandangannya. Dengan harapan, semoga tulisan ringan ini dapat mengantarkan kita untuk berziarah kepadanya sekaligus beribadah mengamalkan sabda Rasulullah Saw bahwa mengingat Ali adalah ibadah.

Ibadah kepada Allah Yang Esa atau ibadah kepada eksisten apa pun merupakan salah satu fondasi ajaran para nabi Ilahi. Setiap ajaran para nabi pasti mengulas masalah ibadah. Namun ekspresi setiap orang ihwal ibadah tidak sederet dan sejajar. Menurut sebagian orang, ibadah merupakan sejenis transaksi atau barteran pekerjaan dan barang. Menjajakan barang dan mengambil upah. Sebagaimana seorang pekerja harian yang memberdayakan dirinya untuk menjalankan sebuah perintah atasan dan menerima upah sebagai balasan dari pekerjaan tersebut. Seorang hamba juga demikian adanya, berupaya, berlelah, berpeluh, beribadah kepada Tuhan untuk mendapatkan ganjaran dari-Nya. Tentu saja ganjarannya akan diterima kelak di kemudian hari. Dalam pandangan orang-orang sedemikian, faidah ibadah adalah menerima ganjaran yang akan ia terima di dunia akan datang dalam bentuk seperangkat barang materi. Karena ibadah menurut orang-orang sedemikian adalah gerakan anggota badan secara lahir melalui lisan dan anggota badan lainnya.

Ekspresi lainnya terkait ibadah adalah ekspresi irfani. Berdasarkan ekspresi terhadap ibadah ini tidak mengemuka masalah pekerja, pelaksanaan pekerjaan, dan ganjaran. Bukan saja tidak mengemuka bahkan apa yang lazim dalam keseharian antara seorang pekerja dan pemberi perintah tidak dapat mengedepan dalam ekspresi irfani ini. Menurut ekspresi ini, ibadah merupakan tangga untuk mendekat kepada Sang Kinasih, mikraj manusia, mentransedentalnya jiwa, melesaknya ruh kepada Sang Adi Kodrati. Dalam tinjauan ini, ibadah adalah media untuk membina pelbagai potensi ruh, olah raga-batin seluruh fakultas malakuti manusia, dominasi ruh atas badan, ungkapan cinta manusia kepada Kesempurnaan Absolut, dan pada akhirnya ibadah adalah sair dan suluk (pelancongan) ruhani kepada Allah Swt.

Ekspresi Amirul Mukminin terkait ibadah adalah ekspresi irfani. Saqi Kautsar, Baginda Ali As menuturkan bahwa ibadah kepada Tuhan merupakan ziarah kepada-Nya. Dalam kitab Tauhid al-Shaduq disebutkan bahwa tatkakla Imam Ali menafsirkan "qad qama al-shalat" beliau bersabda: "Telah tiba waktu ziarah, munajat dan menyampaikan hajat, melabuhkan harapan dan sampai kepada Allah Azza wa Jallah, dan kepada kemuliaan, pengampunan, maaf dan keridhaan-Nya." Artinya tatkala tiba waktu ziarah kepada Ma'bud (Tuhan) dan syuhud kepadanya; karena ketika menunaikan shalat, seorang hamba bercengkerama dengan Tuhan dan bertutur wicara dengan-Nya. Ali bin Abi Thalib As yang merupakan tiang agama memandang shalat, yang merupakan misdak (contoh) lain tiang agama, sebagai syuhud Ilahi dan ziarah kepada Ma'bud. Seseorang yang berziarah kepada Sang Pemilik Keindahan Mutlak sekali-kali tidak akan melihat dirinya; apatah lagi menyaksikan (syuhud) dirinya sendiri. Arif yang menyaksikan ini bukan ingin meraup keuntungan dari menyembah Tuhan, juga bukan sebagai budaknya Nya ia menyembah Tuhan, sedemikian ia bebas sehingga ia tidak hanya bebas dari segala keterikatan (ta'alluq), melainkan terbebas dari segala sibgha (entifikasi). (Abdullah Jawadi Amuli, Ali Mazhar Asmaul Husna, hal. 142)

Dalam Nahj al-Balaghah, Hikmah 237, Baginda Ali menegaskan poin ini bahwa, "Sekelompok orang menyembah Allah karena berhasrat kepada ganjaran; ibadah sedemikian adalah ibadah peniaga. Sekelompok lain beribadat karena gentar dan ciut hatinya; ibadah sedimikian adalah ibadah budak. Sekelompok lainnya menyembah Allah karena ekspresi rasa syukur dan terima kasih; inilah ibadah orang merdeka. Demikian ibadah orang merdeka dalam pandangan Amirul Mukminin As.

Ibadah kepada Allah dalam tinjuan Amirul Mukminin adalah pantas dilakukan karena Dia laik untuk disembah. Beliau bersabda, "Aku tidak menyembah-Mu karena gentar terhadap neraka-Mu juga bukan karena serakah kepada firdaus-Mu namun aku menyembah-Mu karena kutemukan diri-Mu layak untuk disembah maka aku menyembah-Mu." (Bihar al-Anwar, jil 67, hal. 197) Ibadah Ali bin Abi Thalib adalah ibadah orang merdeka, ibadah penuh penyaksian (syahid) bukan ibadah laiknya seorang budak atau seorang peniaga dan semisalnya. Ia menyaksikan segala sesuatu dari sudut pandang penyaksian; bukan dari sudut pandang kehendaknya sendiri atau mengikut selera orang lain. Dengan demikian, antara dua kisah historis yang dinukil ihwal Ali bin Abi Thalib dapat dihimpunkan: Pertama tatkala anak panah menghujam salah satu kakinya dan ditarik keluar manakala beliau sedang menunaikan shalat dimana Ali bin Thalib sama sekali tidak memperhatikan hal tersebut. Dan kisah tentang seorang miskin yang datang meminta pertolongan tatkala Amirul Mukminin menunaikan shalat dan Ali bin Thalib memperhatikannya dengan mengisyaratkan cincin lalu berpindahlah cincin tersebut ke tangan pengemis itu. Kisah yang pertama adalah kisah yang menetapkan dan yang kedua adalah menafikan. Yang pertama tiadanya perhatian kepada yang lain dan yang kedua perhatian kepada yang lain. Keduanya merupakan bersumber dari pancaran syuhud Ma'bud. Dari sini bukan merupakan hal yang aneh atau pertanyaan, karena shalat yang menjadi tiang agama akan menjadi mikraj dan munajat bagi orang beriman, orang yang menunaikan shalat akan melesak kepada Sang Ma'bud dan berbisik-bisik dengan-Nya. Oleh itu, indera pencerapannya, seperti mata, telinga, dan indera penggeraknya seperti tangan dan kaki berada pada kekuasaan Ma'bud, tidak pada kekuasaannya sebagai seorang abid. Seluruh hidupnya, matinya, gerakannya, diamnya, berdirinya, duduknya semuanya lebur dalam kekuasaan Tuhan.

Mutahhari, pemikir besar Iran tentang zuhud dan ibadah Imam Ali berkata: "Dalam pribadi Imam Ali, antara zuhud dan tanggungjawab sosial berpadu dan bertemu. Imam Ali adalah seorang yang zuhud sekaligus orang yang paling peka terhadap tanggungjawab sosial. Beliau termasuk orang yang paling sukar tidur ketika menyaksikan ketidak adilan atau mendengar rintihan orang-orang kecil. Beliau tidak pernah mengenyangkan perutnya selama ada orang-orang yang lapar di sekitarnya." Dari dua kisah ini, tampak benderang kesalehan personal dan kesalehan sosial. Keduanya berpadu dan bersua pada sosok manusia sempurna ini. Antara perjalanan kepada Tuhan dan pelayanan kepada makhluk. Perjalanan dari Tuhan kepada makhluk beserta Tuhan… Wallahu 'Alim… []


source : alhassanain
0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Tempat Kelahiran Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
Menyingkap Keperibadian hazrat Zainab (A.S)
Akhlak dan Ilmu Akhlak
AlQuran Bukan Produk Budaya
Mengenal Peristiwa Mubahalah
3 Tips Al-Qur’an agar Doa Cepat Terkabul
Filosofi Peringatan Acara Hari Ketiga, Ketujuh, Keempat Puluh dan Haul Kematian
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Isra Ayat 1-2
Tanya Jawab mengenai Syafaat dalam Al-Quran
Mengapa Abdul Mutthalib memberikan nama anaknya dengan nama Abdul Uzza?

 
user comment