Indonesian
Thursday 18th of April 2024
0
نفر 0

Mengapa filsafat Peripatetik menganggap hakikat segala sesuatu berbeda-beda dan Filsafat Hikmah Sadrian menganggapnya bergradasi?

Masalah ini berhubungan dengan aliran pemikiran para filosof dan dasar-dasar filosofis aliran-aliran mereka mengenai masalah wujud dan maujud (ada dan keberadaan atau eksistensi dan being). Pendapat yang dinisbahkan kepada para filosof Peripatetik dikenal sebagai “keberagaman wujud dan maujud”, hasilnya adalah keragaman
Mengapa filsafat Peripatetik menganggap hakikat segala sesuatu berbeda-beda dan Filsafat Hikmah Sadrian menganggapnya bergradasi?

Mengapa filsafat Peripatetik menganggap hakikat segala sesuatu berbeda-beda dan namun Filsafat Hikmah Sadrian menganggap hakikat segala sesuatu bergradasi?
Jawaban Global
Masalah ini berhubungan dengan aliran pemikiran para filosof dan dasar-dasar filosofis aliran-aliran mereka mengenai masalah wujud dan maujud (ada dan keberadaan atau eksistensi dan being).
Pendapat yang dinisbahkan kepada para filosof Peripatetik dikenal sebagai “keberagaman wujud dan maujud”, hasilnya adalah keragaman berbagai maujud tidak dapat diingkari. Dengan demikian setiap satu di antara keragaman maujud tersebut akan memiliki wujud khusus tersendiri. Berdasarkan pandangan bahwa wujud adalah simpel dan sederhana, maka setiap wujud dengan wujud yang lain akan berbeda pada esensinya secara keseluruhan.
Akan tetapi menurut pandangan para filosof Hikmah Mutaʻâliyah prinsip tersebut tidak dapat diterima. Dalam pandangan mereka terdapat Prinsip yang dikenal sebagai unity in plurality yaitu kesatuan dalam keragaman, dimana hakikat objek wujud memiliki; baik kesatuan dan keidentikan satu sama lain, begitupun juga perbedaan dan kebinekaan.
Namun mâ bihi al-isytirâk atau apa yang menjadi persamaan dan mâ bihi al-imtiyāz atau apa yang menjadi perbedaan di antaranya tidaklah kemudian menjadi penyebab tarkīb atau susunan dalam zat wujud objek atau hal tersebut dapat dimaknai sebagai genus (jinsy) atau jenis dan pembeda atau differentia (fashly), bahkan mâ bihi al-imtiyâz-nya kembali kepada syiddat atau intensitas (kuat) dan dhaʻf atau infirmitas (lemah). Sebagaimana perbedaan cahaya yang kuat dan cahaya yang lemah pada aspek kekuatan dan kelemahan di antara keduanya.
Akan tetapi tidak dengan makna yang demikian bahwa intensitas pada cahaya yang kuat adalah sesuatu yang bukan cahaya, dan atau infirmitas pada cahaya yang lemah adalah sesuatu yang lain dari cahaya.
 
Jawaban Detil
Patut mendapat pertimbangan dalam menisbatkan pendapat tersebut kepada para filosof peripatetik. Syahid Muthahhari dalam Syarah Manzumah mengatakan, “Pendapat tersebut dijumpai di antara para ulama kalam Asyʻariyah dan ada kalanya (juga)  ditemukan jejaknya dalam perkataan-perkataan sebagian para filosof Peripatetik (Massyāi), tanpa dijelaskan bahwa di antara para filosof peripatetik (yang dimaksud tersebut) layaknya al-Farabi dan khususnya Ibnu Sina –yang merupakan pemimpin para penganut Peripatetik; sebab sebagaimana pengutamaan kesatuan wujud atau wahdat al-wujud adalah bagian atas penerimaan sebelumnya dari kemendasaran dan prinsipalitas wujud (ashâlat al-wujud), memilih keragaman perbedaan wujud juga adalah bagian atas penerimaan sebelumnya dari kemendasaran wujud; yaitu permulaan masalah tersebut harus sudah jelas bagi mereka (para ulama kalam Asyʻariyah) dan mereka sudah harus lewat dari masalah tersebut, (namun) hingga masalah ini dipaparkan untuk mereka dan sudah tetap kedudukannya (akan tetapi) masalah kemendasaran wujud adalah belum jelas sama sekali bagi mereka dan masalah tersebut diatur dan dijelaskan setelah masa al-Farabi dan Ibnu Sina.[1]
Meski bagaimanapun para filosof Peripatetik menganggap bahwa wujud adalah prinsip yang mendasar dan yang sejati, tetapi mereka percaya bahwa setiap wujud dengan wujud yang lain adalah berbeda pada seluruh zat. Dengan pengertian seperti sebelumnya bahwa segala sesuatu termasuk berbagai esensi dan quiditas atau māhiyah (keapaan/whatness) yang dimiliki, validitas berbagai mâhiyah tersebut hadir oleh dominasi berbagai kategori dan berbagai kategori tersebut memiliki validitas dengan mâ bihi al-isytirâk (jika masuk pada satu kategori), dan mâ bihi al-imtiyâz (jika terdapat beberapa kategori). Dari aspek wujud pun segala sesuatu antara satu dengan yang lain saling berbeda pada seluruh zat; yaitu ragam wujud antara satu dengan yang lain tidak terdapat sama sekali jalan persamaan dan kesesuaian.
Hubungan di antara berbagai wujud antara satu dengan yang lain adalah seperti hubungan diantara kategori-kategori sendiri; misalnya sebagaimana kategori kuantitas dan kategori kualitas sama sekali tidak punya peluang persamaan antara satu dengan yang lain (dan pada aspek demikianlah dua kategori berlainan) setiap wujud dengan wujud yang lain adalah sama seperti demikan.
Dalam pandangan para filosof Peripatetik hakikat-hakikat keberadaan tidak keluar dari beberapa keadaan, apakah seluruh individu atau objek-objeknya adalah hakikat tunggal, sebagaimana individu-individu dari satu species, ataukah memiliki berbagai species beragam yang identik pada jenis atau genus (jins) tunggal; seperti persamaan bebagai species hewan-hewan pada “jenis” hewan, dan atau tidak punya persamaan sama sekali serta saling berbeda pada seluruh zat yang mana alternatif ketiga ini merupakan pendapat para filosof Peripatetik dan dua alternatif yang lain tidaklah valid menurut mereka.
Namun, invaliditas alternatif pertama: konsekuensi pendapat ini ialah wujud seperti kulli-e thabiʻī (natural universal) yang ditambah dengan aksiden-aksiden spesifik, muncul dengan bentuk individu-individu yang beragam, tetapi persoalan tentang aksiden-aksiden akan terulang bahwa mereka juga adalah maujud dan berdasarkan asumsi bahwa seluruh maujud adalah memiliki hakikat tunggal, jadi bagaimana perbedaan (dapat) muncul antara aksiden-aksiden dan yang beraksiden dari satu sisi dan di antara aksiden-aksiden (sendiri) dari sisi yang lain dan dengan perbedaan tersebut ragam objek-objek wujud menjadi riil?
Dengan penjelasan lain, mereka percaya jika diasumsikan persamaan di antara wujud-wujud objek atau persamaan pada seluruh zat dan artinya wujud adalah mâhiyah species dan memiliki objek-objek yang banyak. Dan atau persamaan pada sebagian  zat dan konsekuensinya adalah wujud adalah mâhiyah genus dan memiliki species yang beragam, dan kedua asumsi (di atas) adalah keliru.
Namun alternatif kedua: adalah keliru; karena konsekuensi pendapat tersebut ialah bahwa hakikat wujud adalah tersusun pada aspek persamaan dan aspek perbedaan; yaitu tersusun dari genus dan differentia (fashl) dan hal yang demikian itu tidak selaras dengan simplisitas wujud.
Jadi, dalam pandangan filsafat Peripatetik tidak terdapat jalan kecuali (hal yang demikian) ini bahwa harus kita katakan wujud-wujud objek (hakikat keberadaan) adalah berbeda pada seluruh zat.
 
Wujud dan keberadaan dalam Hikmah Mutaʻāliyah
Para filosof Hikmah Mutaʻāliyah terkait dengan masalah keberadaan, mereka meyakini akan seluruh kenyataan-kenyataan objek, konsep kesatuan yang serupa dan identik dengan konsep wujud ialah (hasil) abstraksi dan abstraksi konsep “satu” (serupa dan identik) tersebut berasal dari kenyataan-kenyataan yang banyak, alasannya adalah terdapat apa yang menjadi persamaan (mâ bihi al-isytirâk) objek di antara mereka yang merupakan pangkal dari konsep “satu” tersebut dan jika aspek ke-satu-an di antara wujud-wujud eksternal tidak ada, (maka) konsep “satu” tersebut tidak akan terabstraksi dari mereka (wujud-wujud eksternal).
Dengan kata lain, menurut pandangan mereka (filosof Hikmah Mutaʻāliyah) di antara entitas-entitas “keberadaan” terdapat hubungan kausalitas dan tidak ada maujud sama sekali yang keluar dari rangkaian kausalitas-kausalitas. Oleh itu, keberadaan seluruh maʻlul (akibat) dinisbatkan pada sebab-sebab pencipta hingga dinisbatkan pada zat suci Ilahi yang merupakan perentang dan pemberi wujud kepada sesuatu selain dirinya, objek adalah relatif serta nisbi dan seluruh makhluk adalah manifestasi dari wujud Tuhan yang berdasar dan sesuai dengan derajat mereka sendiri, yang memiliki intensitas (kuat) dan infirmitas (lemah) serta prioritas (taqaddum) dan posterioritas (taa’khur).
Dengan sistematika tersebut totalitas kekeberadaan diformulasi sebagai gradasi dari wujud-wujud objek yang merupakan penopang tiap jaringan dengan jaringan yang lebih tinggi dan pada aspek tingkatan wujud yang dibanding dengannya adalah lebih terbatas dan lebih lemah. Hubungan wujud tersebut yang menegasikan kemandirian setiap maujud selain dari wujud suci Ilahi bermakna kesatuan khusus yang hanya pada wujud objek dan dengan sendirinya terkonsepsi berdasar atas prinsipalitas wujud.
Ringkasnya teori ini, yang dikenal sebagai “kesatuan dalam objek yang bergam”, yaitu hakikat-hakikat objek wujud selain memiliki kesatuan dan kesamaan antara satu dengan yang lain, juga terdapat perbedaan dan pertentangan, tetapi mâ bihi al-isytirâk dan mâ bihi al-imtiyâz-nya tidaklah demikian bahwa ia dapat menjadi penyebab ketersusunan pada zat wujud objek dan atau dapat dianalisis pada pemaknaan genus dan species, bahkan rujukan mâ bihi al-imtiyâz-nya adalah pada intensitas dan infirmitas, sebagaimana perbedaan cahaya yang terang dan cahaya yang redup, pada aspek terang dan redupnya. Namun tidak dengan makna yang demikian bahwa intensitas pada cahaya yang terang adalah sesuatu yang bukan cahaya atau infirmitas pada cahaya yang lemah adalah sesuatu selain dari cahaya. Akan tetapi cahaya yang kuat tidak lain dari pada cahaya dan cahaya yang lemah juga bukanlah sesuatu yang lain dari cahaya dan sekalipun demikian, pada aspek tingkatan intensitas dan infirmitas, terdapat perbedaan satu sama lain.
Namun perbedaan yang ada tidak akan membawa kerusakan pada simplisitas hakikat cahaya yang identik di antara mereka. Dengan kata lain, wujud-wujud objek memiliki perbedaan gradasi dan mâ bihi al-imtiyâz mereka kembali pada mâ bihi al-isytirâk -nya.[2] [iQuest]
[1]. Murtadha Muthahhari, Majmu’e Âtsâr, jil. 9, hal. 193.
[2]. Ibid., hal. 190 dan 205; Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Âmuzesy Falsafah (Daras Filsafat), jil. 1, hal. 344-338


source : islamquest
0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Filosofi Peringatan Acara Hari Ketiga, Ketujuh, Keempat Puluh dan Haul Kematian
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Isra Ayat 1-2
Tanya Jawab mengenai Syafaat dalam Al-Quran
Mengapa Abdul Mutthalib memberikan nama anaknya dengan nama Abdul Uzza?
Apakah makna ibdâ’? Apakah ibdâ’ itu merupakan salah satu sifat Tuhan?
Dosa-dosa Besar dan Dosa-dosa Kecil (4) Wilayah dan Ketaatan
Tafsiran Tauhid Filosofis dan Irfani dalam Surah Tauhid
Ayatullah Behjat Berbicara tentang Imam Mahdi
Meski Zaid bin Ali as-Sajjad adalah dari Ahlulbait, tetapi mengapa ia mengakui ...
Rahasia Peletakan Kata dalam Al-Qur’an

 
user comment