Indonesian
Tuesday 23rd of April 2024
0
نفر 0

Jika misalnya ada orang membunuh . berbuat jahat, lalu dia ditindak oleh pihak berwajib / polisi lalu dihukum (penjara). Apakah nanti di akhirat dia tetap mendapat hukuman oleh Allah?

Jika misalnya ada orang membunuh . berbuat jahat, lalu dia ditindak oleh pihak berwajib / polisi lalu dihukum (penjara). Apakah nanti di akhirat dia tetap mendapat hukuman oleh Allah?

Jika misalnya ada orang membunuh . berbuat jahat, lalu dia ditindak oleh pihak berwajib / polisi lalu dihukum (penjara). Apakah nanti di akhirat dia tetap mendapat hukuman oleh Allah?
Jawaban Global
Salah satu hikmah hukuman-hukuman duniawi dan pelaksanaan hukuman itu adalah untuk mengajar pelakunya dan merealisasikan kedamaian serta ketentraman di tengah masyarakat.
Nah, apabila seseorang, setelah melakukan pelbagai tindak kriminal dan menanggung hukuman duniawi, bertaubat, dengan memperhatikan apa yang disebutkan dalam riwayat-riwayat para maksum, Allah Swt sesuai dengan rahmaniyah dan rahimiyyah-Nya akan melupakan hukuman-hukuman bagi orang itu di akhirat. Namun apabila seorang pelaku melakukan pelbagai tindak kriminal dan kejahatan sedemikian sehingga badannya tidak mampu menahan hukuman-hukuman yang setimpal dengan kejahatannya atau ia tidak menyesal atas perbuatan-perbuatan jahat yang telah dilakukan dan tidak menyiapkan ruang untuk menerima rahmat Ilahi, maka bukan saja hukuman duniawi yang bakalan ia terima dan pengganti hukuman ukhrawi, tetapi juga mendapatkan hukuman di akhirat bahkan lebih pedih dan keras dari apa yang pernah ia terima di dunia.

Jawaban Detil
Hukum-hukum dan instruksi-instruksi Ilahi tidak hanya menyoroti sisi-sisi ukhwari saja, melainkan di samping pandangan menyeluruh terhadap kehidupan ukhrawi, tatkala penetapan dan penyampaian hukum dari Allah Swt, kehidupan duniawi manusia juga telah dipertimbangkan baik dari skala personal atau sosial. Dengan pendekatan ini, lahirlah hukum syariat; karena kehidupan dunia manusia berbeda dengan kehidupan satwa-satwa merupakan sebuah kehidupan transaksional dan sosial dimana segala macam keonaran di tengah masyarakat dapat berpengaruh pada pelaksanaan tugas-tugas personalnya.
Dengan demikian, Allah Yang Mahabijaksana dan Mahamengetahui, untuk menata hubungan-hubungan sosial juga telah mempertimbangkan aturan-aturan seperti hukum-hukum kisas, hudud, diyat, penjara dan lain sebagainya yang ditetapkan untuk menghukum orang yang melakukan tindak kejahatan dan menjadi pelajaran bagi orang lain sebagaimana Allah Swt menyatakan dalam firman-Nya terkait dengan qisas:
«وَ لَکُمْ فِی الْقِصاصِ حَیاةٌ یا أُولِی الْأَلْبابِ لَعَلَّکُمْ تَتَّقُونَ»
"Dan dalam kisas itu terdapat (jaminan kelangsungan) hidup bagi kamu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." (Qs. al-Baqarah [2]:179)
Nah sekarang pertanyaan yang mengemuka di sini adalah apabila hukuman-hukuman yang telah ditetapkan syariat dilaksanakan di dunia ini, apakah pelaku tindak kejahatan juga tetap akan mendapatkan hukuman kelak di akhirat akibat kejahatan dan kriminal itu? Dalam menjawab pertanyaan ini kita akan bercermin pada ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang berbicara tentang masalah ini.
Terdapat beberapa ayat dalam al-Quran yang berbicara tentang sebagian dosa yang menunjukkan tidak mencukupinya azab duniawi dan sebagai bandingannya sesuai sebagian riwayat; azab ukhrawi menafikan hukuman-hukuman duniawi bagi seseorang yang melakukan tindak kejahatan.

"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi adalah mereka dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka akan memperoleh siksa yang besar."[1] Kecuali sebelum pelaksanaan hukuman mereka bertaubat sebagaimana kelanjutan dari ayat ini, Allah Swt berfirman, "Kecuali orang-orang yang bertobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."[2] Tentu saja taubatnya hanya berpengaruh pada gugurnya hak Allah Swt. Adapun hak manusia (haqqunnas) ia tidak akan gugur tanpa adanya kerelaan dari pemiliknya.[3]

Karena itu, sebagian mufassir berpendapat, "Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa bahkan pelaksanaan sebagian hukuman-hukuman ini tidak menjadi penghalang pelaksanaannya di akhirat kelak dan menggugurkan pandangan yang menyatakan[4] pelaksanaan hukuman akan menghilangkan (efek) maksiat-maksiat."[5]

"Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."[6]

Menurut pendapat ahli tafsir, yang dimaksud azab duniawi menyinggung tentang hukuman-hukuman syariat dan reaksi-reaksi sosial, serta pengaruh-pengaruh negatif personal yang akan mereka dapatkan di dunia ini sebagai akibat dari perbuatan-perbuatan jahat itu. Di samping itu, terjauhkannya mereka dari kesyahidan dan gigihnya mereka melakukan perbuatan fasik serta terbongkarnya kedok mereka merupakan efek-efek duniawi perbuatan itu. Adapun azab pedih yang menantikannya di akhirat kelak adalah jauh dari rahmat Allah, mendapatkan murka Allah dan dilemparkan ke dalam api neraka.[7]

Ayat, "Dengan menyombongkan diri dan tidak memperdulikan (firman Allah) supaya menyesatkan manusia dari jalan Allah. Ia mendapat kehinaan di dunia dan di hari kiamat Kami merasakan kepadanya azab neraka yang membakar."[8]

Pada ayat ini juga, Allah Swt menjanjikan azab di dunia bagi orang-orang yang menyesatkan manusia dari jalan kebenaran yaitu membunuh dan mencela mereka, di samping itu juga azab di akhirat yaitu neraka jahanam.[9]

Imam Ali As bersabda, "Allah Swt Mahabesar untuk mengazab seseorang di dunia kemudian mengazabnya kembali di akhirat."[10]
Imam Baqir As ditanya tentang seseorang yang telah dirajam bahwa apakah ia juga akan mendapat hukuman di akhirat? Imam Baqir As menjawab, "Allah Swt Mahabesar untuk kembali mengazabnya di akhirat."[11]


Dari sekumpulan ayat dan riwayat ini dapat dikatakan bahwa masing-masing dua kelompok boleh jadi menyoroti satu sisi persoalan atas apa yang sebenarnya terjadi. Jelasnya, di antara orang-orang yang telah bertobat setelah menerima hukuman-hukuman duniawi dan dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik untuk menebus apa yang dulu dikerjakannya, mereka yang bertaubat atau kejahatan mereka sedemikian serius sehingga dunia dan badan duniawinya, tidak dapat layak untuk menerima pelaksanaan sempurna hukuman-hukuman, kita berbeda pendapat bahwa kelompok pertama, ia tidak lagi akan menerima hukuman-hukuman di akhirat.[12] Namun kelompok kedua, berpendapat bahwa ia layak menerima hukuman yang lebih berat di akhirat. Karena pada sebagian hal, menentukan kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan pada dasarnya tidak mungkin dapat dilakukan dan bahkan dengan asumsi kerugianya dapat diukur, maka tiada hukuman yang setimpal yang dapat ditemukan di dunia untuknya. Karena setiap kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat di samping efek material yang tidak sesuai yang dapat digambarkan bagi semua, efek merugikan secara psikologis dan non kasat mata bagi orang yang menderita dan keluarganya bahkan bagi masyarakat tidak dapat diukur dan dinilai dengan salah satu nilai hukum dan ilmiah sehingga hukuman-hukuman setimpal dapat ditentukan untuknya. Bagaimana kerugian-kerugian yang diderita dari puluhan pencurian, puluhan pemerkosaan atau pembunuhan, membuat orang-orang kecanduan dan lain sebagainya dapat dihitung? Apakah ia dapat dipancung ribuan kali? Atau dua tahun di penjara? Oleh itu, hukuman-hukuman duniawi dalam banyak hal tidak dapat menggantikan hukuman akhirat, meski pada sebagian hal dapat mengurangi hukuman yang akan diterima. [iQuest]

[1]. (Qs. al-Maidah [5]:33)
«إِنَّمَا جَزَاء الَّذِینَ یُحَارِبُونَ اللّهَ وَ رَسُولَهُ وَیَسْعَوْنَ فِی الأَرْضِ فَسَادًا أَن یُقَتَّلُواْ أَوْ یُصَلَّبُواْ أَوْ تُقَطَّعَ أَیْدِیهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلافٍ أَوْ یُنفَوْاْ مِنَ الأَرْضِ ذَلِکَ لَهُمْ خِزْیٌ فِی الدُّنْیَا وَ لَهُمْ فِی الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِیمٌ»
[2]. (Qs. al-Baqarah [2]:34)
«إِلاَّ الَّذینَ تابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَیْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحیمٌ»
[3]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jil. 4, hal. 362, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Pertama, 1374 S.
[4]. Abu Hudzail al-Allaf Mu'tazili salah seorang teolog Ahlusunnah.
[5]. Tafsir Nemuneh, jil. 4, hal. 362; Muhammad bin Ali Syarif Lahiji, Tafsir Syarif Lahiji, Riset oleh Mir Jalaluddin Husiani Armawi, jil. 1, hal. 649, Daftar Nasyr Dad, Tehran, Cetakan Pertama, 1373 S.
[6]. (Qs. al-Nur [24]:19)
«إِنَّ الَّذِینَ یُحِبُّونَ أَن تَشِیعَ الْفَاحِشَةُ فِی الَّذِینَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِیمٌ فِی الدُّنْیَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ یَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ»
[7]. Tafsir Nemuneh, jil. 14, hal. 404; Mulla Fathullah Kasyani, Tafsir Minhâj al-Shâdiqin fi Ilzâm al-Mukhâlifin, jil. 6, hal. 264-265, Tehran, Kitabpurusyi Muhammad Hasan Ilmi, 1336 S; Tafsir Syarif Lahiji, jil. 3, hal. 269; Sultan Muhammad Gunaabadi, Tafsir Bayân al-Sa'âdah fi Maqâmah al-‘Ibâdah, jil. 3, hal. 112, Beirut, Muassasah al-A'lami lil Mathbu'at, Cetakan Kedua, 1408 H.
[8]. (Qs. al-Hajj [22]:9)
«وَ مِنَ النَّاسِ مَن یُجَادِلُ فِی اللَّهِ بِغَیْرِ عِلْمٍ وَ لَا هُدًى وَ لَا کِتَابٍ مُّنِیرٍ - ثَانِیَ عِطْفِهِ لِیُضِلَّ عَن سَبِیلِ اللَّهِ لَهُ فِی الدُّنْیَا خِزْیٌ وَ نُذِیقُهُ یَوْمَ الْقِیَامَةِ عَذَابَ الْحَرِیقِ»
[9]. Majma' al-Bayân, jil. 7, hal. 116; Muhammad Jawad Najafi Khomeini, Tafsir Âsân, jil. 13, hal. 51, Intisyarat Islamiyah, Tehran, 1398 H.
[10]. Hasan bin Ali Ibnu Syu'bah al-Harrani, Tuhaf al-‘Uqul ‘an Âli al-Rasul (Shallallahu ‘alaihi wa Alihi), Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari, hal. 214, Qum, Daftar Intisyarat Islami, Cetakan Kedua, 1404 H.
«مَا عَاقَبَ اللَّهُ عَبْداً مُؤْمِناً فِی هَذِهِ الدُّنْیَا إِلَّا کَانَ أَجْوَدَ وَ أَمْجَدَ مِنْ أَنْ یَعُودَ فِی عِقَابِهِ یَوْمَ الْقِیَامَة»
[11]. Muhammad bin Yakub Kulaini, al-Kâfi, Riset dan edit oleh Ali Akbr Ghaffari dan Muhammad Akhundi, jil. 2, hal. 443, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Keempat, 1407 H.
[12]. Muhammad Saleh Ibnu Ahmad Sarwi Mazandarani, Syarh al-Kâfi (al-Ushul wa al-Raudhah), Riset dan edit oleh Abu al-Hasan Sya'rani, jil. 10, hal. 169, al-Maktabah al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Pertama, 1382 H. Muhammad Baqir Majlisi, Mir'at al-Uqul fi Syarh Akhbâr Ali al-Rasul, Riset dan edit oleh Sayid Hasyim Rasuli, jil. 11, hal. 333, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Kedua, 1404 H; Muhammad Baqir Majlisi, Haq al-Yaqin, hal. 612, Tehran, Intisyarat Islamiyah, Tanpa Tahun.

 


source : www.islamquest.net
0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Hari Pernikahan Rasulullah saww dan Sayidah Khadijah as
ASYURA DAN REKAYASA SOSIAL
Wahabi Bukan Ahli Sunah dan Salafi
Sayidah Maksumah, Karimah Ahlul Bait
Fatimah az Zahra Wanita Surga Yang Tak Ada Duanya
Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
MENGENAL PRIBADI FATIMAH AZ ZAHRA
Imam Husein, Simbol Keberanian dan Pengorbanan
10 Hadits Pilihan Sayyidah Fatimah Az-Zahra as.
Peran Imam Baqir as dalam Penyebaran Ilmu

 
user comment