Indonesian
Friday 29th of March 2024
0
نفر 0

Pentingnya Pernikahan dalam Islam

Pentingnya Pernikahan dalam Islam
Masalah pernikahan dalam Islam merupakan masalah yang sangat penting. (12/12/1362) Meskipun secara syariat tidak termasuk dalam kewajiban, namun benar-benar dianjurkan sehingga manusia memahami bahwa Allah Swt sangat menekankan masalah ini. Mengapa pernikahan termasuk masalah yang sangat penting? Karena ia merupakan sebuah kebutuhan alami. Karena Islam menilai penting akan kebutuhan alami manusia, Islam harus menetapkan jalan yang sehat untuk memenuhi kebutuhan ini dan telah menetapkannya yaitu pernikahan. (19/12/1362) Baik wanita maupun pria memiliki kebutuhan seksual. Kebutuhan seksual ini  tidak bisa tanpa aturan. Tidak bisa dibiarkan liar. Tidak bisa dibiarkan tanpa batasan. Ia memerlukan batasan dan itu adalah pernikahan. Itulah mengapa Rasulullah Saw bersabda, "Man Tazawwaja Ahraza Nishfa Dinihi", "Barangsiapa yang menikah maka ia telah menjaga setengah dari agamanya." Pada bagian yang mana setengah agama telah dijaganya? Pada bagian yang akan terancam oleh kecenderungan seksual. Kecenderungan seksual bisa menghancurkan agama banyak orang, bisa memunculkan masalah pada banyak orang dan dapat menyesatkan banyak orang. Cara mencegahnya adalah kebutuhan seksual ini harus dipenuhi dan juga jangan sampai ditumpas. Lantas bagaimana caranya? Dengan kaidah dan undang-undang yakni pernikahan. Lihatlah bagaimana pentingnya pernikahan! (12/12/1362)
 
Yang demikian ini juga bukan khusus manusia saja, karena ikatan dua makhluk merupakan perantara kelanjutan hidup. Makna ini ada pada tumbuhan dan juga hewan, sebagaimana ada juga pada manusia. Hanya saja karena manusia mendapatkan kelebihan akal dan kehendak dari Allah, untuk ikatan pernikahannya telah ditetapkan aturan dan acara. Aturan dan acara ini untuk menunjukkan betapa pentingnya peristiwa ikatan dua makhluk dan ikatan antara dua hati dan menciptakan sebuah lembaga baru dalam lingkungan sosial manusia. Aturan dan acara tersebut juga bukan khusus Islam saja. Tetapi semua bangsa dan agama memiliki aturan dan acara untuk ikatan pernikahan. Tentu saja Islam berusaha untuk lebih menyederhanakan dan mempermudah acara ini. Islam benar-benar menganggap penting masalah pernikahan. Dalam agama Islam, anak gadis dan perjaka pada prinsipnya dianjurkan untuk menikah. Selain dianjurkan untuk membentuk rumah tangga melalui pernikahan juga ditekankan untuk melanjutkan dan mengabadikan ikatan suami dan istri. Ketiga topik ini ditekankan dalam Islam.
 
Terkait pernikahan, diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw melihat seorang pemuda. Karena Rasulullah Saw senang melihat penampilan pemuda tersebut, maka beliau memanggilnya seraya bertanya, "Apakah kamu memiliki pekerjaan? Dia menjawab, "Tidak. Saya seorang pengangguran." Rasulullah Saw bertanya, "Apakah kamu sudah menikah?" Dia menjawab, "Saya juga tidak menikah." Rasulullah Saw berpaling dan berkata, "Saqata Min ‘Aini", pemuda ini telah jatuh dari mataku karena selain dia tidak punya pekerjaan dia juga tidak menikah." Lihatlah bagaimana pentingnya pernikahan. Sehingga tidak melakukannya sama seperti seorang pengangguran yang tercela. Itulah mengapa masalah pernikahan sangat penting dalam pandangan Islam. (13/12/1381)
 
Untuk itu, sangat penting bila kita mau memperhatikan pandangan Islam terkait masalah pernikahan. Terkait masalah pernikahan, yang pertama dalam Islam adalah menganjurkan para pemuda untuk menikah. Betapa bagusnya bila para pemuda menikah dalam usia yang sangat muda, yakni pada saat mereka membutuhkan. Bukan berarti kita tegaskan bahwa semakin cepat semakin baik. Tidak. Ketika merasa membutuhkan, maka hendaknya menikah. Baik anak gadis maupun perjaka. Jangan biarkan mereka melajang sampai lama. (19/12/1362)
 
Rasulullah Saw menegaskan agar para pemuda, baik laki-laki maupun perempuan untuk segera menikah. Tentunya atas dasar kemauan dan pilihan mereka sendiri, bukan pilihan orang lain. Kita sendiri juga harus mensosialisasikan masalah ini di tengah-tengah masyarakat. Para pemuda hendaknya menikah saat mereka belum keluar dari masa mudanya dan dengan semangat yang masih menggebu-gebu. Ini berbeda dengan pemahaman banyak orang yang menganggap bahwa pernikahan di usia muda adalah pernikahan prematur dan tidak akan bisa langgeng. Justru sebaliknya, tidak seperti anggapan orang lain. Bila pernikahan ini dilakukan dengan baik, maka yang ada adalah pernikahan yang sangat langgeng dan baik serta suami-istri benar-benar akan akrab dalam rumah tangga yang demikian ini. (23/12/1379)
 
Perbedaan Pandangan Islam dan Barat Soal Keluarga dan Pernikahan
 
Ketika sebagian orang mengulur usia pernikahannya sampai usia agak tua dan hal ini di Barat dan peradaban Barat dianggap sebagai hal yang wajar dan biasa, maka sebenarnya itu adalah salah dan bertentangan dengan fitrah dan maslahat umat manusia. Hal ini terjadi karena mereka lebih cenderung menjalani kehidupan penuh syahwat dan kebebasan tanpa batas. (26/1/1377) Tradisi sebagian peradaban dan budaya impor yang dimasukkan oleh orang-orang Eropa adalah para pemuda harus menunggu sampai pendidikannya tamat, sampai memiliki pekerjaan, itupun pekerjaannya harus pekerjaan kantor, baru kemudian menikah. Anak-anak gadis juga demikian jangan menikah di permulaan usia baligh, mereka harus menjadi seorang perempuan yang hebat dulu, memiliki pengalaman yang cukup tentang dunia kemudian baru menikah. Ini adalah adat istiadat orang-orang Eropa dan merupakan sesuatu yang sangat buruk. Karena mereka yang mengulur usia pernikahan bukan karena meyakini bahwa para pemuda dalam masa usia muda tidak memiliki kebutuhan seksual. Bukan. Mereka benar-benar tahu dan menerima kalau para pemuda juga memiliki kebutuhan seksual. Hanya saja mereka meyakini bahwa kebutuhan seksual di masa-masa muda harus dipenuhi secara bebas. Yakni sesuatu yang menurut kita adalah kefasadan, kefasikan dan dosa yang merusak kondisi sosial.
 
Itulah mengapa ikatan suami istri Eropa dan orang-orang yang bergaya seperti orang Eropa, tidak memiliki sebuah ikatan pernikahan yang kokoh. Lihatlah rumah tangga orang dahulu; mereka hidup bersama selama enam puluh tahun, lima puluh tahun, tujuh puluh tahun, kemudian bila salah satu dari pasangan tua ini meninggal dunia, maka yang satunya mengalami kesedihan yang berkepanjangan. Fondasi pernikahan keduanya dibangun atas dasar kasih sayang. Keduanya sangat akrab. Sesuatu di luar lingkungan rumah tangga terkait masalah seksual tidak membuat mereka bisa tergoda. Namun suami istri Eropa tidak punya sebuah rumah tangga yang kokoh, cepat hancur dan banyak perceraian. Kalaupun tidak cerai, secara praktis cerai. Suami istri telah menghabiskan masa mudanya. Saya tidak mengatakan semuanya, tapi kebanyakan mereka demikian. Keduanya tidak saling membutuhkan. Kemudian keduanya menikah, lagi pula keduanya tidak terbatas pada lingkungan rumah tangga. Tidak ini dan tidak itu. Yang menyambungkan keduanya adalah sebuah kamar, sebuah apartemen, sebuah kondisi fisik, bukan sebuah perkara spiritual dan sebuah ikatan jiwa. Inilah rumah tangga di Eropa. Pada dasarnya bukan sebuah rumah tangga.
 
Lelaki tua dan perempuan tua yang sudah semakin tua, itupun ketuaan mereka karena cepat tua. Seseorang berusia enam puluh tahun, ia sudah kelihatan sangat tua. Orang ini sudah tidak lagi bisa menikmati hidup. Sementara orang-orang kita yang berusia enam puluh tahun di sini sedang menghitung satu persatu cucu dan cicitnya, sekarang sudah tiga puluh orang, sekarang cucu dan cicitnya sudah menjadi tiga puluh dua orang. Di sana tidak. Di sana berbeda. Karena sejak awal rumah tangga mereka bukan rumah tangga yang berfondasikan kasih sayang, bukan rumah tangga yang berlandaskan keakraban. Sejak awal dengan suasana dingin dan ketidakpedulian dan memang demikian fondasi rumah tangga mereka. Beginilah. Tentu saja saya tidak mengatakan seratus persen mereka demikian atau rumah tangga kita seratus persen akrab dan baik. Tidak. Saya mengatakan bentuk mayoritasnya. Di sini kebanyakan begini. Di sana kebanyakan begitu. Yang begitu itu juga telah diimpor ke Iran dan dimasukkan ke dalam lingkungan Islam. Padahal Islam tidak menerima yang semacam ini. Islam mengatakan tidak. Seorang perempuan dan pria harus memulai pernikahan ketika mereka membutuhkan. Mereka harus membentuk rumah tangga. Mau menunggu apa lagi? Oleh karena itulah dikatakan, "Inna as-Syarra an-Nasi al-Uzzab", Seburuk-buruk manusia adalah mereka yang lajang, baik perempuan maupun pria. Yakni mereka yang membutuhkan istri, mereka yang membutuhkan suami tapi tidak mau menikah, mereka inilah yang disebut lajang, mereka inilah yang paling buruk. (19/12/1362) (IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)
 
Sumber: Khanevadeh; Be Sabke Sakht Yek Jalaseh Motavval Motavva Dar Mahzar-e Magham Moazzam Rahbari

source : Irib Indonesia
0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Dunia Lisan: Menceritakan Rahasia Pribadi
Melacak Jejak Imam Ali Melalui Bendera Macan Ali
Peran Kasih Sayang dalam Pendidikan
Apa perbedaan tafsir dengan pendapat pribadi dan tafsir secara intelektual yang merupakan ...
Kedudukan Keluarga Dalam Islam
Menjadi Wanita itu Harus Cerdas
Mendidik Anak Meraih Sukses Keluarga
Sepucuk Surat Inspiratif
Tahap-Tahap Perkembangan Keagamaan Pada Anak
Ketika Kepercayaan Diri Anak Hilang

 
user comment