Indonesian
Friday 19th of April 2024
0
نفر 0

Apa maksud dari ucapan Allah yang menghapuskan yang batil dan membenarkan yang hak dengan kalimat-kalimat?

Apa maksud dari ucapan Allah yang menghapuskan yang batil dan membenarkan yang hak dengan kalimat-kalimat?

Ayat apa yang menjelaskan tentang the power of word di al-Quran?
Jawaban Global
Allah Swt, pada ayat 24 surah al-Syura (42) dalam kaitannya dengan kekuatan kalimat-Nya, berfirman:
«أَمْ یَقُولُونَ افْتَرى عَلَى اللَّهِ کَذِباً فَإِنْ یَشَإِ اللَّهُ یَخْتِمْ عَلى قَلْبِک
و یَمْحُ اللَّهُ الْباطِل وَ یُحِقُّ الْحَقَّ بِکَلِماتِه...»
"Apakah mereka mengatakan, ‘Dia (Muhammad) telah mengada-adakan dusta terhadap Allah." (tidaklah demikian karena urusan ini di tangan Allah) Sedang jika Allah menghendaki, niscaya Dia mengunci mati hatimu (dan melenyapkan kemampuan menjelaskan ayat-ayat darimu); dan Allah menghapuskan yang batil dan membenarkan yang hak dengan kalimat-kalimat-Nya (yang diwahyukan kepada para nabi, selalu sesuai dengan kebiasaan yang berlaku).'"
Sebab turunnya ayat ini adalah karena Allah Swt mewahyukan ayat mawaddah Ahl al-Bait As yang menyatakan bahwa,
«...قُلْ لا أَسْئَلُکُمْ عَلَیْهِ أَجْراً إِلاَّ الْمَوَدَّةَ فِی الْقُرْبى ...»
"Katakanlah, ‘Aku tidak meminta kepadamu suatu upah pun atas seruanku ini kecuali kecintaan kepada keluargaku.'" (Qs. Al-Syura [42]:23)
Akibatnya, sekelompok orang yang lemah iman dan munafik menuding Rasulullah Saw ingin membuat orang-orang mencintai dan suka kepada Ahlul Bait As. Di sini Allah Swt mewahyukan ayat ini dan berfirman, "Apakah mereka mengatakan, "Dia (Muhammad) telah mengada-adakan dusta terhadap Allah." Padahal Allah Swt tidak sedang mewahyukan ayat mawaddah.[1] Sejatinya, Allah Swt menyodorkan ayat ini atas kebenaran ucapan Rasul-Nya.
"Apakah mereka mengatakan, "Dia (Muhammad) telah mengada-adakan dusta terhadap Allah." Konteks firman Allah Swt adalah bernada ancaman dan keniscayaan pengingkaran makna ini adalah Rasulullah Saw menyandarkan dusta kepada Allah Swt (naudzubillah min dzalik).
"Sedang jika Allah menghendaki, niscaya Dia mengunci mati hatimu." (Makna kalimat sebelumnya adalah bahwa orang-orang munafik berkata engkau berkata apa-apa yang berasal dari dirimu sendiri supaya keluargamu dicintai oleh masyarakat).
Makna kalimat ini dengan bantuan konteks ayat adalah bahwa tidak, engkau tidak menyandarkan dusta kepada Allah Swt dan engkau juga bukan seorang pendusta. Karena engkau tidak memangku jabatan dan posisi tertentu sehingga engkau harus berkata-kata dusta. Apa yang engkau sampaikan adalah wahyu dari sisi Allah Swt, tanpa engkau turut campur tangan di dalamnya, bahkan tugas-tugas itu bergantung sepenuhnya pada kehendak Allah Swt, apabila ia menghendaki niscaya Dia mengunci mata hatimu dan menutup pintu wahyu bagimu. Namun Dia menghendaki wahyu diturunkan kepadamu untuk menjelaskan kebenaran dan melaksanakan sunnah-Nya; karena sunnah Allah Swt demikian adanya senantiasa menghapuskan yang batil dan membenarkan yang hak dengan kalimat-kalimat.
Karena itu firman Allah Swt, ""Sedang jika Allah menghendaki, niscaya Dia mengunci mati hatimu" bermakna kiasan bahwa segala sesuatu urusan kembali kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw sangat mulia untuk berkata-kata sesuatu dari dirinya sendiri. Tentu saja memaknai ayat dengan konteks seperti ini akan lebih tepat. Karena itu kami katakan bahwa yang dimaksud dengan qurba itu adalah kekerabatan Rasulullah Saw dan kecaman ditujukan kepada orang-orang munafik dan orang-orang yang sakit hatinya.
Kalimat ini dinyatakan dengan kata kerja mudhâre, yamhu (menghapus) dan yuhiqqu (menetapkan) adalah untuk menunjukkan keberterusan dan kontiunitas hal ini dan memahamkan bahwa masalah penghapusan batil dan penetapan kebenaran merupakan sebuah sunnah yang ditetapkan Allah Swt dengan kalimat-kalimat-Nya.
Yang dimaksud dengan "kalimât" adalah wahyu yang diturunkan Allah Swt kepada Rasulullah Saw dan firman-Nya yang memahamkan tujuan-tujuan para nabinya. Akan tetapi terdapat kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan kalimat Allah ini adalah para nabi sendiri; karena jiwa-jiwa mulia ini memiliki tipologi kalimat dan kalimat ini menyingkap tirai dan para nabi juga menguak tabir-tabir gaib.[2] [iQuest]

[1]. Abu al-Futuh al-Razi, Husain bin Ali, Raudh al-Jinân wa Ruh al-Jinân fi Tafsir al-Qur'ân, Riset oleh Muhammad Ja'far Yahaqi dan Muhammad Mahi Nasih, jil. 17, hal. 127, Bunyad Pazyuhesyha Islami Ustan Quds Radhawi, Masyhad, 1408 H.
[2]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur'ân, jil. 18, hal. 49-50, Daftar Intisyarat Islami, Qum, 1417 H; Sayid Muhammad Baqir Hamadani, Terjemahan Persia al-Mizân, jil. 18, hal. 70-71, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Kelima, 1374 S; Muhammad bin Syarif Lahiji, Tafsir Syarif Lahiji, Riset oleh Husaini Armawi (Muhaddits), Mir Jalaluddin, jil. 4, hal. 48, Daftar Nasyr Dad, Tehran, Cetakan Pertama, 1373 S.


source : www.islamquest.net
0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Tempat Kelahiran Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
Menyingkap Keperibadian hazrat Zainab (A.S)
Akhlak dan Ilmu Akhlak
AlQuran Bukan Produk Budaya
Mengenal Peristiwa Mubahalah
3 Tips Al-Qur’an agar Doa Cepat Terkabul
Filosofi Peringatan Acara Hari Ketiga, Ketujuh, Keempat Puluh dan Haul Kematian
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Isra Ayat 1-2
Tanya Jawab mengenai Syafaat dalam Al-Quran
Mengapa Abdul Mutthalib memberikan nama anaknya dengan nama Abdul Uzza?

 
user comment