Indonesian
Saturday 20th of April 2024
0
نفر 0

Haji Langganan

Haji Langganan

Suatu hari ketika masih tinggal di sebuah kota di Jawa Timur, saya diundang tetangga untuk menghadiri acara walimah. Tapi yang memb uat saya terkejut, kata walimah itu kini telah mengalami pengembangan. Ia tidak lagi hanya berarti nikah atau acara ijab-kabul, tapi semua bentuk kumpul-kumpul suka. Nah, kali ini saya diundang untuk menghadiri salah satu acara walimah dengan pengertian yang baru, yaitu walimah (tasyakuran) naik haji.

Yang lebih mengejutkan lagi, orang yang mengundang saya itu adalah orang yang sama mengundang saya tahun lalu dan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, juragan ikan lele dan bawang ini adalah ‘haji langganan’, bahkan dia dapat dianggap kolektor gelang besi yang dikenakan oleh peserta ONH. Di rumahnya semua perlengkapan haji, seperti tas pinggang, kartu identitas dan no kloter, jerigen air zamzam, tersimpan rapi di galeri haji yang berada dalam area rumahnya yang sangat besar.

Saya datang agak terlambat. Rupanya jalan gang telah ditutup. Para hansip dadakan tampak berjaga-jaga dan duduk di tengah jalan. Tenda-tenda besar pun terpasang sepanjang tiga rumah. Ada selingan musik samroh dan lagu-lagu Arab yang menurut telinga saya bukan jenis lagu relijius, meski dilantunkan dalam bahasa Arab. Tulisan ‘Selamat Menunaikan ibadah Haji, Bpk Haji Margani dan Keluarga” dan kaligrafi Arab berisikan ayat al-Quran tentang ibadah haji terpampang di dinding luar rumah dan ruang tamu. Pak Haji tampak berseri-seri dan tak henti-hentinya mempersilakan para tamu ya ng sebagian besar miskin memperbaiki gizi dan nutrisi dengan menu-menu makanan lezat dan gratis.

Acara ‘walimah’ ini bnar-benar meriah dan mewah. Acara yang diramaikan dengan hingar-bingar lagu ini berlangsung hingga menjelang azan subuh. Warga yang umumnya miskin nampaknya menganggap acara itu sebagai acara tahunan yang rutin. Maklum, pak Margani memang memang ‘haji langganan’.

Bagi orang seperti Pak Margani, mungkin haji bukan lagi sebuah ibadah kolosal super berat yang merupakan momentum penghayatan derita dan perjuangan Ibrahim AS, tapi penegasan status sosial, dan wisata. Bayangkan saja! Tiga istri dan semua anak-anaknya, termasuk si Salim, anaknya yang terkecil (bukan terakhir lho), yang baru berusia 5 tahun sudah pernah menjejakkan kaki di Mekkah.

Seperti sebelum-sebelumnya, sepulang dari ibadah haji, acara penyambutan sejak asrama hingga kampung rumah akan segera digelar. Iring-iringan mobil juga siap memacetkan jalan, dan tentu saja mengundang perhatian banyak tetangga. Ia datang dengan pakaian lengkap bak seorang emir dari keluarga Saud. Igal melilit kepalanya dan gamis mewah membungkus tubuhnya yang gendut dan pendek. Tidak hanya itu, gaya ngomongnya sudah berubah. Meski tetap berbahasa Indonesia, dia mengubah aksennya dengan gaya Arab. Benar-benar membuat orang-orang kampung yang tidak pernah haji terkagum-kagum.

Seperti tahun-tahun sebelumnya juga, pak Margani tetap memberikan ‘bantuan finansial’ kepada tetangga dan pelanggannya. Bantuan yang saya maksud adalah bantuan ala Pemerintah asing atau IMF alias hutang plus uang terimaksih (kata lain dari bunga).

Padahal haji adalah “salat raksasa”. Spektrumnya amat banyak. Di dalamnya terdapat banyak pelajaran. Melakukan upacara wukuf di padang Arafah merupakan salah satu mata acara penting dalam rangkaian prosesi kolosal ibadah haji. Wukuf adalah simulasi wukuf di padang Mahsyar, altar raksasa yang menampung seluruh umat manusia yang berjajar menanti auditing dan investigasi oleh pansus yang tak bisa anti suap.

Haji juga mengandung dimensi ekologis. Dalam sebagian mazhab, membunuh hewan adalah pelanggaran yang layak diganjar dengan denda. Haji mengajarkan kita untuk memahami bahwa hewan diciptakan untuk hidup, bukan untuk dibunuh kecuali bila mengganggu.

 

Haji juga merupakan simulasi pengekangan narsisme dan cinta diri. Dalam sebagian mazhab, menggunakan parfum bahkan segala yang memberikan aroma wangi bisa dianggapa sebagai noktah hitam. Keinginan untuk bersolek dan berprilaku sok elite, dengan menyisir rambut hingga merontokkan rambut bisa dianggap noktah hitam dalam lembar putih ihram. Mengikuti hasrat seksual terhadap istri maupun lainnya malah bisa dianggap mencemari kekudusan prosesi kolosal ini. Tidak hanya itu, dalam haji, semua bentuk kenyamanan, kesenangan dan kemanjaan dijungkirbalikkan. Dalam sebagian mazhab, menggunakan payung saat berihram bisa dianggap “tidak prosedural”. Singkatnya, ibadah haji adalah latihan untuk kembali ke orisinalitas tanpa status sosial, kepura-puraan, imagi, citra fisikal, pangkat dan semua yang artifisial.

 

Tapi, anehnya, tidak sedikit yang menganggap haji sebagai sekedar wisata atau momentum pamer, bahkan ada yang melakukan sa’i dengan gaya jogging di lapangan parkir senayan minggu pagi.

Dr. Muhsin Labib (Moderate Institute)


source : http://beritaprotes.com
0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Mulla sadra dan pertanyaan tentang realitas(2)
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nahl Ayat 78-80
Seorang Imam juga Berpengetahuan Ghaib
Keutamaan Melaksanakan Sholat di Awal Waktu
Teologi Transformatif
ASAL MULA TIMBULNYA PERSELISIHAN PADA PERIODE RISALAH NABI
Berapa usia orang-orang yang menghuni surga dan neraka?
Fikih Salat Lima Mazhab
EMPATI : JALAN MEMUHAMMADKAN DIRI
Anak-anak Adam dengan siapa mereka menikah?

 
user comment