Indonesian
Thursday 18th of April 2024
0
نفر 0

Al-Qur’an dalam Sunnah dan Syiah

Al-Qur’an dalam Sunnah dan Syiah

 

Al-Qur’an merupakan kalam Allah Swt yang diturunkan kepada Rasul-Nya yang mana tidak ada kebatilan darinya, baik dari depan maupun dari belakang. Dan Al-Qur’an juga merupakan sumber rujukan pertama bagi kaum muslimin –baik hukum fiqih, akhlak, aqidah- dan barang siapa yang menyangsikan dan meremehkannya, maka sesungguhnya dia telah keluar dari agama Islam (murtad). Dan mereka (para ulama) baik syi’ah maupun sunnah telah bersepakat akan kesucian Al-Qur’an dan kemulyaannya, dan tidak diperbolehkan menyentuhnya kecuali dalam keadaan thaharah (suci, tidak berhadast).

Namun dalam penafsiran dan pena’wilan, mereka golongan syi’ah merujuk kepada para ma’sumin Ahlul Bait a.s, sedangkan Ahlus Sunnah, mereka berpegangan kepada para sahabat atau salah satu dari empat imam yang terkenal (Syafi’i, Hambali, Hanafi dan Maliki). Dan sesungguhnya perbedaan yang mencolok diantara kedua belah pihak yaitu dalam hukum-hukum fiqih.

Ahlus sunnah dan syi’ah juga bersepakat bahwasanya Rasulullah Saw telah menjelaskan serta menerangkan hukum-hukum Al-Qur’an dan menafsirkan semua ayat-ayatnya kepada kaum muslimin, namun dalam marja’ (tempat meruju’) dan penafsir serta pena’wil setelah wafatnya Rasul saw mereka saling berselisih.

Dengan demikian, Ahlus sunnah mengatakan: “adapun dalam penafsiran, maka semua sahabat itu layak pada tingkatan pertama, kemudian setelah itu para ulama Islam.”

Dan adapun dalam masalah pena’wilan, mayoritas diantara mereka mengatakan: “tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali hanya Allah Swt semata.”

Dan masalah ini mengingatkanku (penulis) akan percakapan antara aku dengan Syikh Zahwani dariTunis, ulama terkemuka yang tersohor, ketika saya menafsirkan sebuah hadis: لطم موسی لملک الموت و فقاء عینیه “yakni Musa (a.s) menempeleng malaikat maut (Izrail a.s) dan lepaslah matanya.”

Maka Syaikh Zahrawi (orang khusus dalam mempelajari Bukhari dan syarahnya) menjawabku dengan segera: sungguh benar hadis ini ada di Shahih Bukhari dan sesungguhnya itu adalah benar. Dan setiap yang di kumpulkan Bukhari tida ada jalan keraguan padanya.

Maka saya bertanya: saya belum faham hadis ini, dan bisakah anda bisa menjelaskan pada kami?

Dia berkata: Shahih Bukhari itu seperti kitab Allah Swt, jika kamu tidak faham tentangnya maka fahamilah, dan jika kamu belum faham tentangnya maka serahkanlah urusannya pada Allah Swt.

Saya berkata: dari segi manakah persamaan itu?! Padahal kami adalah para pelajar yang faham akan kitab Allah Swt.

Dia berkata:

بسم الله الرحمن الرحیم هو الذی انزل علیک الکتاب منه آیات محکمة هنّ ام الکتاب و اخر متشابهات فأمّا الذین فی قلوبهم زیغ فیتبعوه ما تشابه منه ابتغاء الفتنة و إبتغاء تأویله و ما یعلم تأویله الاّ الله.

Saya dan dia membaca ayat ini bersama-sama dan saya sampai (setelah lafadz jalalah Allah Swt) pada bacaan: والراسخون فی العلم namun dia berteriak: berhentilah pada lafad, illa allah, karena disitu ada waqof lazim.

Maka saya berkata: wahai tuanku! wawu ataf itu mengatahafkan, والراسخون فی العلم

Dia berkata lagi: لا “tidak”, ini adalah jumlah (kalimat) baru.

والراسخون فی العلم یقولون آمنّا یه کلّ من عندنا walaupun sesungguhnya mereka belum faham ta’wilnya.

Saya berkata: wahai tuanku! Anda adalah ulama’ besar, maka bagaimana mungkin Anda bisa menerima penafsiran semacam ini?

Dia berkata: sesungguhnya ini adalah penafsiran yang benar.

Saya berkata: bagaimana mungkin Allah Swt menurunkan perkataan, sementara disitu tidak bisa dimengerti atau diketahui kecuali hanya Dia sendiri, lalu apa hikmah dibalik itu?! Sementara pada saat yang sama Dia menyuruh kita supaya merenungi dan memahaminya, bahkan sampai menantang manusia dan jin untuk mendatangkan dan membuat satu ayat atau satusuratyang menyerupainya?! Maka apabila tidak ada yang memahami (faham) kecuali hanya Allah Swt semata, maka tidak ada sisi penantangan disini.

Maka Syaik Zahwani sadar [ada golongan (sekumpulan) yang mana mereka datang kepadanya denganku. Maka dia berkata kepada mereka: kalian datang kepadaku dengan seseorang yang menginginkan akan kelemahanku. Tidak, dia menginginkan urusanku.

Kemudian mereka meminta dari kami untuk bubar dan dia berkata: saya sakit, maka janganlah kalian menambahkan rasa sakitku!

Maka ketika kami keluar, ada salah satu dari mereka menaruh dendam kepadaku, sedangkan empat orang yang lain kesampingku dan mengutarakan: “dengan percakapan ini, tersingkaplah bahwasanya Syaikh tersebut kosong”.

Kembali ke maudhu’:

Maka sesungguhnya Ahlus sunnah sepakat akan tidak adanya ta’wil Al-Qur’an, karena hanya Allah Swt sajalah yang mengetahui ta’wilnya.

Adapun menurut Syi’ah: bahwasanya Aimmah Ahlul Bait a.s adalah orang-orang yang ahli (patut, layak) untuk menafsirkan Al-Qur’an dan ta’wilnya. Maka sesungguhnya Ahlul Bait a.s adalah ar-Rasikhun (orang-orang yang lekat) dengan ilmu, dan mereka adalah Ahlu al-Dzikr yang mana Allah Swt memerintahkan untuk merujuk kepada mereka, sebagaimana firman-Nya: فأسئلوا اهل الذکر ان کنتم لا تعلمون “dan bertanyalah kalian kepada Ahlu al-Dzikr jika kalian tidak mengetahui[1].” Dan Ahlul Bait a.s adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah Swt (manusia pilihan) dan Allah Swt telah mewariskan kepada mereka ilmu didalam firman-Nya dalam surat Fathir: 32, ثمّ اورثنا الکتاب الذین اصطفینا من عبادنا “kemudian Kami wariskan kitab kepada mereka yang kami pilih dari hamba-hamba Kami”. Oleh karena itu Rasulullah Saw menjadikan mereka sebagai pendamping Al-Qur’an dan timbangan kedua (tsaqlun) yang mana diwajibkan bagi setiap muslim untuk berpegang teguh kepada mereka. Rasulullah Saw bersabda:

ترکت فیکم الثقلین: کتاب الله و عترتی اهل بیتی ما ان تمسّکتم بهما لن تضلّوا بعدی ابداً

“saya tinggalkan dua hal yang berharga ditengah-tengah kalian, kitab Allah dan itrahku Ahlul baitku, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya maka kalian tidak akan pernah tersesat untuk selama-lamanya setelahku”. Sedangkan  dalam kitab Shahih Muslim dikutip dengan menggunakan lafadz,

3x کتاب الله و اهل بیتی اذکرکم الله فی اهل بیتی

Dan untuk lebih adil dan perkataan yang benar:

Saya lebih condong atas perkataan Syi’ah karena perkataan tersebut lebih masuk akal (akal bisa menerima), karena dalam Al-Qur’an ada yang dzahir dan ada yang bathin, ada tafsir ada ta’wil, maka diharuskan Ahlul Bait a.s lah yang dikhususkan atas semua ilmu-Nya, karena bukanlah sebuah kebijaksanaan Tuhan ketika Allah Swt menurunkan Al-Qur’an dan disitu manusia sudah faham semua (bukan hikmah Allah Swt).

Dan perlu diketahui bahwasanya Ahlul Bait a.s adalah Ar-Rasikhuna fil ilm, karena mereka adalah orang-orang yang lebih alim, lebih waro’, lebih taqwa dan lebih utama daripada manusia semuanya.

Farazdaq dalam sebuah syairnya mengatakan:

إن عدّ اهل التقی آئمّتهم

وإن قیل مَن خیراهل الارض قیل: هم

Dan untuk menerangkan akan kebenaran syi’ah, marilah kita baca firman Allah Swt yang berbunyi:

فلا اقسم بمواقع النجوم وإنّه لقسم لو تعلمون عظیم إنّه لقرآن کریم فی کتاب مکنون لایمسّه الاّ المطهّزون

Dengan ayat ini tampak lebih jelas, bahwa Ahlul Bait a.s lah yang mengetahui makna-makna Al-Qur’an baik muhkamat maupun mutasyabihat, karena Ahlul Bait a.s adalah orang-orang yang disucikan, dimana Allah Swt telah berfirman: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait (a.s) dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Dan mungkin salah satu tuduhan yang diisukan kepada kaum syi’ah yaitu bahwasanya syi’ah memiliki Al-Qur’an tersendiri yang berbeda dengan Al-Qur’an yang beredar sekarang. Itu bersandar kepada sebagian hadis yang diriwayatkan dari Imam Ja’far shasiq as:

…ولکن والله – واهوی بیده الی صدره – إنّ عندنا سلاح رسول الله و سیفه و درعه و عندنا والله مصحف فاطمة، ما فیه آیة من کتاب الله وإنّه لأملاء (من املاء) رسول الله و خطّه علیّ (علیه السلام) بیده.

“dan tetapi Demi Allah – seraya beliau mendekapkan tangannya kedadanya – pada kami ada senjata Rasulullah saw, pedangnya dan baju besinya. Dan pada kami ada Mushhaf Fatimah, yang didalamnya tidak ada satu ayatpun dari ayat-ayatnya yang tidak di diktekan Rasulullah Saw dan ditulis Ali (a.s) dengan tangannya.”

Bahwa sebagian orang menyangka bahwa Imam Ja’far shadiq as telah mengabarkan adanya mushhaf (Al-Qur’an) yang lain dari Al-Qur’an sekarang ini. Karena itu ada sebagian orang yang menjadi terompet penyebar fitnah bahwa syi’ah, Al-Qur’annya lain sendiri, padahal sebagian orang tersebut belum tentu tahu persis seperti apa Mushhaf Fatimah itu!

Dengan memahami riwayat diatas, sebenarnya persoalannya telah jelas. Dan ini tergantung akan pengetahuan kita akan bahasa arab.

Menurut Imam Ja’far a.s:…Demi Allah kami punya Mushhaf Fatimah…, merujuk kepada ucapan beliau kita harus memahami kata Mushhaf dalam bahasa arab.

Ar-Raghib al-Isfahani berkata: yang disebut shahifah adalah sesyatu yang dibentangkan (dihamparkan) seperti shahifah wajah dan shahifah yang ditulisi diatasnya. Dan kata jamaknya adalah shahaif atau shuhuf seagaimana dalam firman-Nya: صحف ابراهیم و موسی یتلو صحفاً مطهّرة فیها کتباً قیّمة “shuhuf Ibrahim (a.s) dan Musa (a.s), dia membaca shuhuf yang disucikan yang didalamnya terdapat kitab-kitab berharga.”

Adayang menyebutkan bahwa yang dimaksud shuhuf (yang kedua) adalah Al-Qur’an. Dia menyebutkan shuhuf yang didalamnya terdapat kitab-kitab, karena shuhuf itu mengandung firman Allah, tetapi mushhaf itu sebuah nama untuk semua kitab (buku) yang menghimpun shuhuf (baik dari kertas ataupun kulit) dan Al-Qur’an disebut mushhaf sebab dia itu kumpulan shuhuf. Maka, nama kitab Allah (yang terakhir) ialah Al-Qur’an, Adz-Dzikr, Al-Furqon, Al-Kitab. Dan wahyu itu tidak dinamai mushhaf. Tetapi kaum muslimin menyebutnya mushhaf setelah wahyu itu terhimpun dalam mushhaf. Jadi kekeliruan memahami riwayat diatas semata adalah soal penentuan istilah dan penggunaan bahasa saja pada masalah itu.

Kemudian imam menjelaskan makna dari Mushhaf Fatimah itu untuk menghilangkan salah pengertian. Beliau a.s berkata:…tidak didalamnya satu ayatpun dari kitab Allah…yaitu Mushhaf Fatimah itu bukanlah Al-Qur’an atau bagian dari Al-Qur’an dan bukan wahyu ilahi tetapi hanyalah pengimlaan (pendiktean) Rasulullah Saw dan tulisan Ali a.s.

Sebagian ulama meriwayatkan bahwasanya Mushhaf Fatimah itu berisi kumpulan do’a-do’a  dan petunjuk-petunjuk yang di imlakkan Rasulullah Saw kepada Fatimah Az-Zahra a.s untuk mendidik dan mengajarnya.

Amirul mukminin Ali a.s telah berkata:

Kemudian Dia menurunkan Al-Kitab sebagai cahaya dan pelita yang tidak akan padam, ibarat laut yang tidak bisa dicapai kedalamannya, sebagai sistem yang tidak akan sesat bagi orang yang menjalankannya, sebagai kilat yang tidak akan gelap cahayanya, sebagai pembeda antara benar dan salah yang tidak akan padam argumennya, sebagai penjelasan yang tidak akan roboh rukun-rukunnya, sebagai obat yang tidak takut tehadap pelbagai penyakit, sebagai kemuliaan yang tidak akan pernah terkalahkan pembela-pembelanya, sebagai kebenaran yang tidak akan terhina orang-orang yang menegakkannya. Ia adalah gudang dan pusat iman, sumber dan lautan ilmu pengetahuan, taman dan sungai (yang mengalirkan) keadilan, seagai tungku Islam dan bangunannya, sebagai sumber kebenaran, sebagai laut yang tidak akan habis airnya, sebagai mata air yang tidak akan terserap dan lenyap airnya, sebagai tempat minum yang tidak akan pernah berkurang airnya bila diminum oleh orang-orang yang minum, sebagai mercusuar yang jika digunakan seorang musafir niscaya tidak akan tersesat jalannya, sebagai petunjuk jalan yang tidak tersesat orang-orang yang berjalan.

Allah Swt telah menujudkan Al-Qur’an sebagai penawar bagi hausnya para ulama’, sebagai penyejuk bagi hati-hati para faqih, sebagai hujah-hujah bagi para pemersatu, sebagai obat yang paling mujarab, sebagai cahaya yang tidak disertai kegelapan, sebagai tali yang sangat kokoh yang tidak akan pernah putus, sebagai benteng yang tidak dapat dilampaui puncaknya, mulialah orang yang berpegang teguh dengannya, terampunilah orang-orang yang mengikutinya, sebagai argumentasi bagi orang yang berbicara dengannya, sebagai saksi bagi orang yang memusuhi musuhnya, sebagai pembelah (mematikan hujjah lawan) bagi orang yang berhujjah dengannya, ia mengangkat (derajad orang) yang mempelajari dan mengamalkannya, sebagai binatang tunggangan bagi orang yang mengamalkannya, sebagai tanda kebesaran Allah bagi oang yang mencari tanda kebesaran-Nya, syurgalah bagi orang yang menerima Al-Qur’an sebagai petunjuk, seagai ilmu bagi orang yang memahami, sebagai hadis bagi yang meriwayatkan, sebagai hukum bagi yang memutuskan perkara dengannya… (Nahjul balaghah, khutbah ke 198).

Oleh: Nurul Huda

[1] QS An-Nahl: 43 Tafsir Thabari juz 14 hlm 140, Tafsir IBn katsir juz 2 hlm 57


source : http://hauzahmaya.com
0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Berapa banyak surah dalam al-Qur’an yang menggunakan nama-nama para Nabi Ilahi?
DIALOG ANTARA MUSLIM DAN KRISTEN [13]
Nabi Daud: Ya Allah, Tunjukkan Kawanku di Surga
Menengok Sahabat Nabi (Kritik atas Kritik Hadis II)
Tauhid : Fondasi Keluarga Muslim
Menilik Hikmah Adanya Kiamat
PARA PENCARI ARTI
Taqiyah dalam Mazhab Maliki
Sunni, Syiah, atau Wahabi: Apa Bedanya?
filsafat penciptaan setan

 
user comment