Indonesian
Friday 29th of March 2024
0
نفر 0

PANDANGAN DUNIA ISLAM

PANDANGAN DUNIA ISLAM

Ragam Pandangan Dunia

Jika kita membahas pandangan dunia (world view) dari sisi fondasi dan metode pengetahuan, kita dapat membaginya menjadi empat bagian :

1. Pandangan dunia ilmu

2. Pandangan dunia filsafat

3. Pandangan dunia agama

4. Pandangan dunia gnostik (irfan)

Pada pembahasan sebelumnya, kita telah mengetahui makna dari “pandangan dunia “. Kini ktia akan menjelaskan makna ilmu, filsafat, agama dan irfan, dari hal yang disebutkan di atas sehingga kita dapat melihat secara jelas akan perbedaan-perbedaan pandangan dunia yang ada.

Definisi Ilmu

Terma ilmu secara leksikal bermakna mengetahui dan pengetahuan (knowledge). Terma ilmu ini memiliki beragam makna dimana pada kesempatan kali ini, kami akan menyebutkan yang terpenting saja:

1. Keyakinan yang teguh vis a’ vis dengan prasangka dan keraguan;

2. Sekumpulan rangkaian pengetahuan yang memiliki objek yang sama, dan memiliki satu titik poros pembahasan. Seperti ilmu kedokteran dimana objek permasalahannya adalah kesehatan dan penyakit manusia, atau ilmu gramatika (sharaf) atau sintaktis (nahwu), dimana objek permasalahannya adalah kata dan kalimat. Ilmu dalam istilah ini (yaitu memiliki objek yang sama), juga meliputi filsafat karena titik poros pembahasan filsafat adalah mengenai hukum-hukum universal eksistensi.

3. Sekumpulan pengetahuan yang dapat dibuktikan dengan metode eksperimentasi, seperti ilmu-ilmu Fisika, Kimia dan lain sebagainya. Istilah ini memiliki makna yang lebih khusus dari istilah yang kedua, karena istilah ini tidak meliputi pembahasan Filsafat, lantaran masalah- masalah Filsafat, sebagaimana yang akan kita singgung pada pembahasan mendatang, bukan masalah yang berciri eksperimental. Yang dimaksud dengan “ilmu” di sini berhadapan dengan “filsafat”. Terma ilmu yang ketiga ini adalah sebuah istilah yang hanya meliputi hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang mana harapan pembuktiannya melalui eksperimen, walaupun eksperimen yang diteliti pada hal hal tersebut belum berhasil, atau fasilitas - fasilitas eksperiment tersebut belum di peroleh, seperti , hipotesis-hipotesis dunia dan teori-teori biologi.

Yang dimaksud dengan pandangan dunia ilmu adalah sebuah pandangan dunia yang hanya diperoleh melalui metode eksperimentasi. Oleh karena itu, istilah ilmu yang dimaksudkan adalah istilah yang ketiga.

Definisi Filsafat

Filsafat adalah sebuah kata yang derivasinya berasal dari Yunani yang bermakna pecinta ilmu dan hikmah, redaksi filsafat memiliki dua istilah :

1.Istilah klasik, yang meliputi seluruh ilmu-ilmu hakiki (bukan ilmu konvensional yang ditetapkan oleh para ahli bahasa, seperti gramatika bahasa dan hukum), filsafat sesuai dengan istilah ini terbagi pada dua bagian, teoritis dan praktis. Dan filsafat teoritis meliputi ilmu-ilmu natural dan metanatural serta matematik. Adapun filsafat praktis meliputi akhlak, ekonomi domestik serta politik. Masing masing dari pembagian ini memiliki metode dan pendeketan tersendiri.

2.Istilah baru, filsafat dalam istilah ini ditempatkan vis a’ vis dengan ilmu, dan hanya meliputi masalah masalah non-experimental (metafisik), jika dibandingkan dengan istilah klasik, istilah baru ini hanya termasuk satu bagian dari beberapa bagian filsafat klasik itu sendiri yang disebut dengan “ilmu universal” atau teologi atau filsafat pertama, yang merupakan bagian kedua dari pembagian filsafat teoritis, yang membicarakan mengenai hokum-hukum universalitas wujud, hokum-hukum yang tidak hanya di khususkan pada satu jenis wujud, bahkan meliputi seluruh wujud, seperti unitas (wahdat) dan multiplitas (katsrat), wajib (necessity) dan mumkin (contingent), sebab (cause) dan akibat (effect), dll.

Dan yang dimaksud dengan pandangan dunia filsafat di sini adalah sebuah pandangan dunia yang berseberangan dengan pandangan dunia ilmu, dimana pandangan dunia filsafat adalah sebuah pandangan yang memakai metode akal, bukan eksperimentasi.

Definisi Agama

Kata din dalam leksikal berarti aturan, ketaatan, serta balasan, atau sekumpulan tatanan akidah, akhlak, hukum-hukum personal, dan sosial, dan agama-agama samawi memiliki seperangkat aturan-aturan yang datang dari Tuhan, dan diturunkan kepada nabi melalui wahyu. Oleh sebab itu, seluruh masalah agama, dasar-dasar kepercayaannya adalah beriman kepada wahyu dan kabar samawi, karenanya yang dimaksud dengan pandangan dunia agama di sini adalah pandangan dunia yang bersandar pada wahyu Ilahi.

Definisi Irfan

Kata irfan (gnostik) secara leksikal berarti pengetahuan dan makrifat, secara teknikal berarti pengenalan yang didapatkan melalui jalan syuhud qalbi (penyaksian batin) bukan melalui rasionisasi atau eksperimen indrawi. Seorang arif, yang berjalan melalui perjalanan suluk irfani, melihat seluruh keberadaan alam sebagai bentuk jelmaan dan manifestasi Tuhan, seakan akan seluruh fenomena alam adalah cermin Ilahi, dimana jamâl ahadiyah, adalah puncak manifestasi keindahannya, tidak ada satupun wujud yang independen kecuali Dzat Suci Ilahi. Kita percaya bahwa makrifat seperti itu akan dapat tercapai dengan mengamalkan perintah-perintah agama secara ikhlas, dan pada hakikatnya, irfan adalah hasil puncak dari agama yang hak, dan irfan adalah cahaya maknawiyah yang Allah berikan pada hati-hati pecintanya. Dan yang di maksud dengan pandangan dunia irfani adalah sebuah penafsiran dari sebuah pandangan dunia yang berdasarkan pada makrifat syuhudi, dan tidak bersandar pada penalaran rasio atau eksperimental.

Sebuah Analisa

Dengan memperhatikan masalah-masalah fundamental pandangan dunia, dengan mudah dapat dipahami bahwa masalah-masalah seperti ini tidak berhubungan dengan masalah ilmu, yang mana tidak dapat dibuktikan dengan metode ilmu (eksperimentasi), karena setiap ilmu, membahas hukum-hukum dan objek-objek tertentu. Hukum-hukum yang hanya berhubungan dengan objek tersebut yang dapat diselidiki, misalnya fisika dari hal-hal lahir materi dan energi, dan kimia dari analisis dan susunan unsur-unsur materi dan hubungan-hubungan internalnya, dan fisiologi dari kualitas kerja organ-organ makhluk hidup.

Psikologi membahas mengenai keadaan-keadaan kejiwaan manusia, dan masing-masing hukum tersebut memiliki karakteristik khusus pada objeknya sendiri yang akan dibahas. Dengan demikian, jelaslah bahwa masalah-masalah psikologi tidak dapat dipecahkan dengan rumus-rumus fisika atau kimia, atau hukum-hukum fisiologi tidak dapat digeneralisasikan terhadap benda yang tak bernyawa.

Namun boleh jadi ada yang mengatakan bahwa kurang lebih terdapat hubungan antara materi dan ruh, atau dalam sirkulasi-sirkulasi fisiologis, aksi dan reaksi fisikis dan kimia terjadi, apapun itu, setiap objek mempunyai hukum-hukum tipikal tersendiri, dan tidak dapat digeneralisasikan kepada seluruh keberadaan, juga, metode ilmu adalah metode eksperimental yang hanya dapat digunakan pada hal-hal yang dapat dieksperimentasi. Akan tetapi pembahasan seperti Tuhan, wahyu, kehidupan setelah mati, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan permasalahan ini, karena hal-hal tersebut tidak bisa dianalisa di meja laboratorium, atau tidak dapat di letakkan di bawah pisau bedah, dan ilmu eksperimentasi sama sekali tidak mampu memutuskan sesuatu hal yang keluar dari wilayah eksperimen dan empirik, baik dalam bentuk menafikan atau menetapkan sesuatu.

Oleh karena itu, kita tidak dapat berharap pada ilmu-ilmu empirik untuk dapat memecahkan masalah-masalah fondasi pandangan dunia dan menawarkan kepada kita sebuah pandangan dunia ilmiah.

Kesimpulannya, bahwa pandangan dunia berada di luar dari wilayah empirik, baik dari sisi pandangan dunia universal mengenai keberadaan dan hubungan fenomena-fenomenanya, juga dari sisi objek-objek masalah fondasi tersebut. Pandangan dunia filsafatlah dengan metode rasionalnya (non-empirik) mampu menemukan pandangan dunia, sedangkan ilmu-ilmu empiriki dengan sendirinya tidak mampu memecahkan masalah tersebut. Satu-satunya sumbangsih yang dapat diberikan oleh ilmu empirik dalam memecahkan masalah pandangan dunia adalah bahwa sebagian dari hasil-hasil penemuan sains dapat dijadikan sebagai “premis minor” dalam membentuk argumentasi filsafat, namun sumbangsih ini tidak akan mengeluarkan substansi masalah tersebut dari dimenesi filosofisnya, dan juga tidak akan merubah metode rasional menjadi metode empirik.

Kita beri perumpamaan, dalam fisika terbukti bahwa materi muncul dari kompressi energi. Dan energi termasuk dalam kategori gerak, dari sini dapat disimpulkan bahwa seluruh alam materi bergerak, kemudian subyek ilmu ini dapat ditempatkan sebagai sebuah pendahuluan untuk argumentasi filsafat, dan darinya dapat disimpulkan bahwa alam materi butuh kepada penyebab, karena gerak adalah fenomena (perwujudan) dan setiap fenomena butuh pada yang mewujudkannya. Sebagaimana Anda perhatikan, bahwa argumentasi ini memiliki pendahuluan ilmiah, sebuah argumentasi filosofis untuk masalah-masalah metafisik. Atau contoh yang lain, misalnya jika dalam psikilogi empirik terbukti, bahwa walaupun seluruh syarat-syarat indra manusia terpenuhi, namun terkadang manusia tidak melihat sesuatu yang terletak di depan matanya, atau suara-suara yang seharusnya ia dengar namun tidak menyebabkan getaran pada gendrang telinganya. Dari subyek ini, dapat disimpulkan bahwa hakikat pencerapan, bukanlah aksi dan reaksi fisikis atau fisiologis. Pencerapan (idrak) sejatinya hakikatnya adalah aktivitas jiwa (metafisikal), apa yang kami simpulkan terakhir ini, termasuk sebuah kesimpulan-kesimpulan rasional dan filosofis yang diperoleh dengan bantuan ilmu (knowledge), bukanlah sebuah masalah ilmiah (saintifik) yang hanya dapat terbukti melalui metode empirik.

Dan konklusinya adalah bahwa pandangan dunia yang sejatinya merupakan pandangan dunia, baik dari sisi substansi masalah, maupun dari sisi metode pembuktiannya, adalah pandangan dunia filosofis bukan pandangan dunia ilmiah. Pandangan dunia ilmiah maksudnya adalah pandangan dunia yang bersandar pada hukum-hukum sains, serta pembuktian dengan menggunakan metode dan pendekatan empirik.

Dari sisi lain, mungkin tergambar, bahwa pandangan-pandangan dunia dapat dijelaskan hanya berdasarkan pada jaminan wahyu dan kitab-kitab suci, dan dengan ini, kita dapat memiliki pandangan dunia yang independen dan tidak membutuhkan filsafat, namun pandangan ini tidak benar, karena ketika masalah-masalah tesebut dapat terpecahkan melalui wahyu, hal ini berarti bahwa sebelumnya, keberadaan Tuhan sebagai pemberi wahyu dan nabi sebagai pembawa kitab suci telah terbukti, dan pembuktian kedua masalah tersebut butuh pada argumen rasional, walaupun, kitab suci sendiri (seperti al-Qur’an) dalam beberapa masalah pandangan dunia mengemukakan argumen rasional, seperti, bentuk pembuktian tauhid : “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah Rusak binasa.” (Qs. Anbiya [21]: 22) dan yang berhubungan dengan pembuktian Hari Kiamat (Ma’ad): “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” (Qs. Ash-Shad [38:27-28)

Argumentasi al-Qur’an ini tidak akan merubah substansi masalah filosofisnya. Dengan demikian pandangan dunia agama, tidak mungkin bebas dari corak dan warna filsafat.

Dan mengenai pandangan dunia irfan. Pertama, pandangan dunia syuhudi seorang arif, hanya dapat menjadi hujjah bagi dirinya sendiri yang tidak dapat ditransfer pada orang lain. Penafsirannya terhadap dunia bersandar pada syuhudi, dan hal ini tidak dapat dibuktikan pada orang lain, kedua, sebagaimana yang disinggung sebelumnya bahwa perjalanan sair suluk irfani butuh pada pengetahuan agama yang benar, dan agama dengan sendirinya bersandar pada sebuah prinsip (ushul), dimana prinsip tersebut hanya bisa dibuktikan dengan metode rasional dan filosofis, oleh sebab itu, irfan sendiri memerlukan argumen-argumen filsafat. Kesimpulannya bahwa masalah asasi pandangan dunia adalah sebuah masalah filsafat yang hanya bisa diselesaikan dengan metode rasional dan filosofis, dan tidak ada pandangan dunia, yang sehat dan benar, bebas dari warna, corak dan bentuk filsafat.

Filsafat Ilmu

Marxisme, di samping menegaskan pentingnya filsafat dan mengharuskan hal tersebut untuk menjelaskan dasar-dasar pandangan dunia, mereka juga beranggapan bahwa filsafat yang benar adalah sebuah filsafat yang bersandar pada hukum-hukum ilmu empirik, serta mengeneralisasikan hukum-hukum tersebut terhadap seluruh keberadaan alam, dan darinya mengeluarkan satu mata rantai hokum-hukum universal yang mencakup seluruh alam, yang mencakup seluruh bagian tabiat benda mati, makhluk hidup, masyarakat, sejarah, serta pemikiran manusia, dan itulah yang di maksud dengan filsafat materialisme dialektika.

Sebelum kami menganalisa pandangan ini, kami akan memberikan penjelasan mengenai filsafat ilmu dan menjelaskan kata yang mirip dengannya.

A. Sebagian para pemikir barat mengusulkan bahwa “lantaran tersebarnya berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang cukup beragam, yang mengakibatkan terjadinya jarak di antara pelbagai disiplin tersebut dikarenakan hasil penemuan meraka yang berbeda-beda, maka suatu saat nanti akan muncul sebuah ilmu dimana kesimpulan ilmu yang beragam akan dianalisa dan dikumpulkan yang kemudian akan menghasilkan keharmonisan di pelbagai disiplin ilmu tersebut. Jenis ilmu ini disebut dengan filsafat ilmu.”

B. Salah satu dari disiplin ilmu yang akhir-akhir ini muncul sebagai salah satu fakultas independen adalah ilmu metodologi, yang mana menjelaskan mengenai metode penelitian dalam masalah-masalah yang ada dalam setiap ilmu, ilmu seperti ini pula terkadang disebut dengan filsafat ilmu.

C. Makna lain dari filsafat ilmu adalah bahwa setiap ilmu memiliki subyek, masalah dan dasar dasar tersendiri. Subyek setiap ilmu adalah sebuah subyek universal yang mencakup seluruh subyek-subyek masalah ilmu tersebut, seperti bilangan angka untuk ilmu Matematika, dan kuantitas untuk ilmu Teknik. Namun terkadang subyek masalah akan membentuk bagian-bagian subyek ilmu itu sendiri, seperti anggota sel-sel badan manusia yang akan membentuk bagian-bagian badan tersebut, dan badan manusia itu sendiri – dari sisi kesehatan – adalah objek ilmu kedokteran. Jika demikian halnya di atas, maka hubungan antara subyek ilmu dan subyek-subyek pelbagai masalah adalah hubungan keseluruhan (kul) dan sebagian (juz),bukan universal (universal) dan partikular (juz’i).

Masalah-masalah ilmu adalah pelbagai proposisi yang mana subyek-subyeknya adalah bagian bagian atau sub-sub subyek ilmu, untuk membuktikannya, harus menggunakan metode yang tipikal pada ilmu tersebut, misalnya, dalam ilmu-ilmu Filsafat dengan metode rasional, dan dalam ilmu-ilmu eksperimental dengan metode eksperimen, dan dalam ilmu-ilmu Sejarah dan naqliyah (seperti ilmu Fiqih ) adalah dengan mengumpulkan indikasi-indikasi yang ada dan menyingkap segala yang ditunjuki (madlul) dan kandungannya.

Penalaran-penalaran yang dipakai dalam setiap disiplin ilmu pengetahuan, memiliki metode khusus yang sesuai dengan disiplin ilmu itu sendiri, yang bersandar pada prinsip-prinsip yang umum, dimana kebenarannya telah diasumsikan, dan ilmu itu sendiri dengan metode khusus yang ia miliki tidak dapat membuktikan akan kebenaran hal tersebut. Dan prinsip umum tersebut disebut dengan bangunan-bangunan dasar (mabâdi), dan prinsip-prinsip ini jika meliputi seluruh seluruh bagian-bagian ilmu disebut sebagai postulat (ushul muta’araf), jika terkhusus pada subyek ilmu tertentu disebut dengan prinsip aksioma (ushul maudhua).

Postulat-postulat adalah bersifat badihi, tidak butuh pada pembuktian, misalnya “kemustahilan dua hal yang kontradiktif.” Namun aksioma harus dibuktikan melalui ilmu lain. Sebelumnya, pembahasan mengenai hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lain, dan pembahasan mengenai pembuktian prinsip-prinsip maudhuah setiap ilmu, dibahas dalam pembahasan ilmu logika. Namun belakangan ini, pembahasan tersebut dibahas dalam “filsafat ilmu”.

Sekarang, kita akan melihat, bagaimanakah bentuk filsafat ilmu Marksisme!, tidak diragukan bahwa yang di maksud dengan filsafat ilmu dalam pandangan mereka, bukan metodologi atau filsafat ilmu, dan juga maksud mereka dari kata ini, bukan sebuah ilmu yang mengkoordinasi seluruh ilmu, karena tugas ilmu ini tidak lain kecuali, mengumpulkan hasil-hasil ilmu dan menjelaskan hubungan-hubungannya. Maksud mereka adalah bahwa sebagaimana yang kita lihat dalam setiap ilmu empirik, kita mendapatkan hokum-hukum universal melalui penyelidikan dan penyelusuran (istiqra) dalam hal-hal partikular, yang mana kebenarannya bisa diuji melalui eksperimentasi, kita juga bisa mendapatkan hokum-hukum universal dengan menganalisa hokum-hukum ilmu pengetahuan yang terdapat kesamaan di antaranya, yang mana hukum tersebut bisa dibuktikan melalui eksperimentasi, kemudian, berdasarkan hukum universal yang diperoleh ini, mereka meramalkan masalah-masalah masyarakat dan sejarah, dan tahapan-tahapan perubahan genus dalam teori Darwin, dimana mereka meyakini bahwa hokum-hukum evolusi dan penyelusuran alami sebagai sebuah hukum filsafat universal, kemudian dengan hukum filsafat universal tersebut mereka mencoba mengeneralisasikannya pada sejarah dan masyarakat. Berdasarkan hal ini – menurut klaim mereka - keberadaan masyarakat komunis sebagai akhir tahapan kesempurnaan masyarakat, dan secara mutlak merupakan hasil kesimpulan dari hukum filsafat ilmu, dan setiap orang yang mengkaji kitab-kitab Marx, akan mengetahui bahwa tujuan asli dari seluruh pembahasan ini, serta susunan-susunan filsafatnya, adalah untuk menyiapkan daya tarik untuk kampanye partai politik.

Insya Allah, kita akan menyelidiki pandangan mereka, khususnya mengenai prinsip-prinsip filsafat ini dalam istilah ilmu. Apa yang pelru kami singgun disini adalah bahwa secara asassi filsafat ilmu adalah sebuah ke-tidakatur-an dan ke-kontradiksi-an yang diungkapkan oleh inisiator mereka sendiri. Dimana mereka tidak mampu mengetahui batasan antara filsafat dan ilmu.

Dengan demikian, sebagaimana kami singgung sebelumnya bahwa filsafat dan ilmu (dalam istilah baru) dari sisi subyek dan metode, secara mutlak berbeda, dimana subyek-subyek ilmu empiric diperoleh melalui persepsi (indra), sedangkan subyek masalah filsafat adalah pemahaman-pemahaman yang muncul dari analisis rasioanl. Selain dari pada itu metode pembuktian masalah ilmu adalah metode empirik dan bersandar pada persepsi indrawi, walaupun untuk pembuktian masalah universalitas dan hal-hal yang niscaya butuh pada prinsip-prinsip akal, namun prinsip ini diterima sebagai sebuah aksioma (ushul maudhu’ah ), dimana metode pembuktian masalah-masalah filsafat adalah dengan menggunakan metode akal dan bersandar pada konsep “keniscayaan akal“ (badihiyyatul aqliyah), dan dengan metode empirik, kita tidak dapat menafikan atau menetapkan masalah- masalah filsafat tersebut, sebagaimana dengan metode empirik, kita tidak dapat membuktikan masalah Tuhan, Ruh (non-material), wahyu atau kehidupan abadi, dan juga dengan menggunakan metode yang sama kita tidak berhak menafikannya.

Namun, pengeneralisasian hokum-hukum sebuah ilmu kepada hal-hal lain, dan menyimpulkan hokum-hukum universal dari hokum-hukum yang mirip ilmu (sekiranya hokum-hukum tersebut meruipakan ilmu, bukan hipotesis) adalah sebuah kekurangan atau sebuah bentuk penipuan lain, dimana penggagas hukum itu sendiri tidak menyadarinya. Sebagaimana kami singgung sebelumnya, bahwa kita tidak dapat sama sekali mengeneralisasi hukum-hukum fisiologi pada materi dan energi, karena hal tersebut terkhusus pada subyek ilmu fisika dan kimia, atau hukum-hukum fisiologi meluaskannya pada benda mati, kemudian menyimupkan hokum-hukum evolusi dan gerak tabiat dan meluaskan huokum-hukum tersebut pada sejarah dan pemikiran manusia, kerancuan seperti inilah yang melanda pemikiran Marksisme, dimana Insya Allah akan kita bahas pada pembahasan yang akan datang.

Hal lain yang kami kemukakan di sini, bahwa hari ini, label “ilmu“ telah mendapatkan pengakuan melalui popularitas ilmu empirik. Hal ini barangkali dikarenakan efek dari adanya ekuivokal (kesamaan lafaz), sehingga mengakibatkan munculnya kekaburan dalam benak mereka secara tidak sadar. Anggapan mereka seperti ini bahwa sesuatu yang tidak mempunyai merek (label) ini, berarti ia tidak memiliki nilai (value), karena sesuatu yang bukan ilmu, maka hal itu berarti kebodohan.

Yang harus diperhatikan bahwa sesuatu dipandang ilmiah dalam istilah baru adalah semakna dengan ilmu empirik. Dan masalah-masalah saat ini yang disebut dengan ilmu dan ilmiah (saintifik), pada umumnya adalah hipotesa dan belum terbukti (sebagaimana masalah-masalah sosiologi secara umum demikian adanya yaitu bersifat hipotetis). Oleh karena itu, label yang secara substansi tidak memiliki konsideran ini, ketika diberikan merek palsu “filsafat”, tiada satu pun konsideran (i’tibar) yang dapat ia peroleh. Dan orang-orang yang dapat dengan mudah menerima anggapan ini hanyalah orang jahil dan orang yang tidak sadar.

Kesimpulannya, lebel ilmiah pada filsafat, bagaimanapun, tidak akan menambah nilai dan kualitasnya. Non-ilmiahnya sama sekali tidak dapat dipandang sebagai sebuah cacat bagi filsafat. Tida boleh muncul anggapan bawah lantaran filsafat ilahi tidak ilmiah dan tidak dapat dibuktikan secara empirik, maka ia tidak bisa diyakini dan dipercaya. Hal itu disebabkan oleh: Pertama, masalah-masalah ilmu jarang yang sampai pada tahap yakin, selain dari pada itu, pembuktian hokum-hukum universal ilmu, memerlukan prinsip-prinsip filsafat dan dengan menggunakan metode rasional. Kedua, masalah-masalah filsafat dapat dibuktikan melalui metode akal dan berdasarkan atas prinsip “keniscayaan akal”, bahkan pembuktiannya sampai pada tahap yakin dan bersifat mutlak, oleh karena itu, filsafat memiliki posisi yang lebih tinggi dari pada ilmu-ilmu empirik. Insya Allah akan dibuktikan pada masa akan datang

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Imam Husain As dalam Pandangan Ahlusunnah
Sifat Jamal dan Jalal Ilahi
Bagaimana mukjizat itu dapat didefinisikan dan dibuktikan?
Salafi Wahabi Adalah Benalu Bagi Jama’ah Kaum Muslimin
Kisah Sayyidina Ali ra dan 3 Orang Yahudi Tentang Ashabul Kahfi
Kisah Ashabul Kahfi dan sains
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Isra Ayat 7-10
Puasa Ramadhan dalam tradisi Islam Syiah (bag satu)
Ciri-Ciri Dikuasai Hawa Nafsu
Larangan Allah Mendekati Perbuatan Keji

 
user comment