Indonesian
Thursday 25th of April 2024
0
نفر 0

Hukum Konvensional

Hukum Konvensional



Di pembahasan yang lalu, Syahid Baqir Shadr telah menyampaikan definisi hukum syari dan kritikannya atas definisi klasik. Lalu membagi hukum pada taklifi dan wadhi. Kemudian menerangkan bahwa hukum wadhi (konvensional) memiliki dua bentuk; yang pertama, sebagai subyek bagi hukum taklifi. Yang kedua sebagai muntaza’ (bagian yang diangkat) dari hukum taklifi, seperti juz`iyah (hal menjadi bagian) misal ruku dan sujud, dan syarthiyah (hal menjadi syarat) misal zawâl (waktu matahari tergelincir) bagi shalat zuhur.

Hukum Wadhi Sebagai Muntaza (Bagian yang Diangkat dari Keseluruhan Komposisi) dari Hukum Taklifi
Mengenai dua bentuk wadhi tersebut, di sini didahulukan pembahasan tentang bentuk yang kedua itu, yaitu juz`iyah, dengan soal berikut ini:
Apakah juz`iyah (bacaan) surat di dalam shalat muncul melalui penetapan independen (jal istiqlâli)? Misal syariat mengatakan, Saya tetapkan surat sebagai bagian dari shalat!. Jika iya, apa masalahnya kalau juz`iyah ini didapati penetapannya secara independen?
Beliau mengatakan: Mungkin saja begitu. Akan tetapi tidak mungkin surat sebagai juz`iyah shalat melalui penetapan secara terpisah. Alasannya:
1-Syariat sebelum menetapkan juz`iyah itu, apakah ia mengubah hukum taklifi terkait shalat? Dalam arti bahwa sebelumnya ia telah mewajibkan ruku, sujud dan tasyahud, lalu mengubah perintahnya (yang baru) dengan mewajibkan surat juga!? Jika demikian itu, untuk terwujudnya juz`iyah ini tidak memerlukan penetapan independen, bahkan itu menjadi sia-sia jika maksudnya adalah pemberitahuan, bukan pengadaan (insya`).
Dengan kata lain, pensyariatan surat sebagai bagian dari shalat, adalah pemberitahuan tentang adanya disebabkan perubahan perintah. Demikianlah jika asumsinya adalah mengubah perintah sebelumnya, yang meniscayakan kesia-siaan. Namun masalah ini keluar dari pokok pembahasan, bahwa yang dibahas adalah tentang penetapan, ja’l atau insyâ`, bukan pemberitahuan.
Jika asumsinya adalah tidak mengubah perintah sebelumnya, hal ini meniscayakan tumpang tindih (tahâfut), bahwa mana mungkin surat ditetapkan sebagai sebuah bagian (dari shalat), pada saat yang sama perintah sebelumnya tetap di posisinya tanpa mencakup surat!?
2-Juz`iyah merupakan perkara yang nyata seperti cinta dan benci. Keduanya ini ada tanpa insyâ` atau pengadaan, sekalipun diadakan secara berulang-ulang. Misal orang mengatakan, Saya mencintaimu.. Saya mencintaimu… dan seterusnya, cinta tidak lahir dengan perkataan yang berulang-ulang ini. Tetapi lahir oleh faktor-faktor tertentu seperti dengan memberi hadiah, misalnya. Demikian halnya dengan juz`iyah, tidak muncul melalui insyâ`.
Dengan melihat (adanya) juz`iyah pada bagian-bagian eksternal, sudah cukup. Ibarat ada sebuah kertas, lalu kita ingin menjadikannya sebagai bagian dari buku. Adanya juz`iyah (hal kertas sebagian bagian dari buku) ini bukan produk penetapan kita itu, tetapi adanya karena hal melekatnya di dalam buku dengan lem.
Demikian halnya dengan juz`iyah surat bagi shalat, bahwa ia merupakan perkara yang nyata. Realitasnya yang diangkat dari wilayah penetapan dan pensyariatan, bahwa realitas segala sesuatu atas pertimbangan wilayah itu, tidak mungkin muncul dengan insyâ`. Tetapi oleh faktor tertentu, yaitu intizâ` (hal diangkat) dari kewajiban yang mengarah pada seluruh bagian (shalat), salah satunya ialah surat.

Hukum Wadhi Sebagai Subyek Hukum Taklifi
Bentuk kedua bagi hukum wadhi ialah sebagai subyek hukum taklifi, seperti status menikah menjadi subyek hukum wajib menafkahi. Soal yang sama di atas juga terlontar di sini: apa mungkin hukum status ini jika tidak diangkat dari hukum wajib memberi nafkah- adanya melalui penetapan independen itu, ataukah tidak?
Yang benar menurut Syahid Shadr ialah bahwa status menikah (sebagai contoh wadhi yang menjadi subyek taklifi) muncul oleh penetapan secara terpisah itu. Tidak mungkin merupakan muntaza (sesuatu yang diambil) dari hukum taklifi, karena wajib menafkahi isteri turun atas status menikah. Maka status ini harus ada lebih dulu sehingga hukum wajib nafkah turun setelah itu.
Jika sebaliknya, status nikah adalah yang diambil dari wajib nafkah, niscaya terjadi daur (circular reasoning; sesuatu sebagai sebab bagi dirinya sendiri dengan satu perantara atau lebih). Karena status nikah bergantung pada wajib nafkah, dan (pada saat yang sama) wajib nafkah bergantung pada status nikah.

Referensi:
Durus fi Ilm al-Ushul -al-Halaqah I, II, III fi Uslubiha ats-Tsani

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Harta Karun itu Bernama "Hikmah"
Akibat Tsunami, Islam Semakin Tumbuh di Haiti
Agama dan Akhlak
Benarkah Kita Bangsa yang Bodoh ?
Pandangan Al-Qur'an Mengenai Kufur Nikmat
Sikap Damai Muslim dengan Non Muslim
Buah Ketaatan Kepada Allah dan Rasul
Mubahalah, Bukti Kebenaran Islam
Ali diam saat Umar mencegah nabi berwasiat?
Sabda Nabi saw: “Ali dariku dan aku dari Ali”

 
user comment