Indonesian
Friday 19th of April 2024
0
نفر 0

Jilbab: Citra Intelektual dan Spiritual

Jilbab: Citra Intelektual dan Spiritual

Oleh: Retno W. Wulandari

Fenomena jilbab akhir-akhir ini semakin marak. Gelombang fenomena ini semakin terasa pada kampus-kampus yang berkonotasi pada kam-pus "sekuler" atau "tidak Islami". Dalam satu sisi pandang, jelas ini merupakan suatu hal yang patut disyukuri. Karena, paling tidak ini menjadi suatu cermin korektif betapa kesadaran akan penghayatan keberagamaan secara lebih mendalam menjadi suatu kebutuhan yang esensial dalam menghadapi arus zaman sekarang ini.
Berjilbab, dalam tatapan ekologis dan kosmologis, merupakan suatu perlawanan dan penolakan terhadap perkembangan budaya asing yang mewabah di negeri ini. Dengan berjilbab, ada semacam proses identifikasi untuk menjadi Muslimah sejati.
Sementara itu dalam perspektif Islam Tradisional -yang pemikirannya dikembangkan secara jernih oleh Sayyid Hussain Nashr- wanita berjilbab seolah-olah memberontak terhadap modernisme yang memisahkan kaum Muslim dengan Yang Pusat Yang Ilahi. Lebih jauh Nashr menulis dalam Islam Tradisi (1994 : 15): "Islam tradisional menganjurkan wanita berpakaian yang sopan yang umumnya mengenakan jilbab untuk menutupi rambutnya. Hasilnya adalah sejajaran
pakaian wanita dari Maroko sampai Malaysia, seba-gian besar pakaian ini sangat indah dan memantulkan femininitas sesuai dengan etos Islam, yang mene-kankan keselarasan dengan sifat materi dan karena-nya maskulinitas kaum pria dan feminitas kaum wa-nita. Kemudian datang perubahan-perubahan moder-nis yang membuat para wanita menanggalkan jilbab mereka, menampakkan rambut mereka dan menge-nakan pakaian Barat, paling tidak di kawasan dunia Islam."
Penulis The Tao of Islam, Sachiko Murata, men-jelaskan dengan sangat menarik perihal kepentingan kaum wanita Muslimah menutupi aurat mereka. Tulisnya, "Keindahan dan kecantikan Tuhan termanisfestasi dalam diri wanita. Semakin wanita tersebut menjaga keindahan dan kecantikannya, maka dalam tatapan kosmologis, wanita tersebut seolah-olah menutupi Keindahan dan Kecantikan Tuhan."
Sayang, kesadaran wanita yang berjilbab itu belum sampai ke arah seperti itu. Pada dataran praktis, masih banyak terjadi percampuran budaya Barat de-ngan budaya Islam. Ataupun, ketidakmampuan untuk mengendalikan keinginan diri. Misalnya, sebagian wanita sudah menge-nakan kerudung atau jilbab, tapi bajunya terbuat dari kain yang tipis yang tentu saja mem-bentuk tubuhnya yang indah. Jelas, hal ini kurang memenuhi ke-sempurnaan perintah syariat.
Hatta, sekalipun ini dipandang dari perintah syariat maka itu pun belum memenuhi sya-rat sebagai busana muslimah. Syarat se-perti bahan tidak ter-buat dari kain yang tipis, tidak membentuk lekuk-lekuk tubuh dan seterusnya telah ba-nyak dilanggar. Alasannya macam-macam. Salah satu alasan, misalnya, busana Muslimah pun harus mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman.
Alasan di atas tampak menarik. Karena, di sini ditampilkan bahwa perintah syariat tidaklah ber-tentangan dengan perkembangan zaman. Pada satu sisi, tentu saja alasan ini dapat diterima. Islam me-mang tidak menghalangi kemajuan dan perkembang-an zaman. Namun, apakah dengan alasan tersebut, lantas perintah syariat harus kehilangan ruhnya ? Ruh berjilbab pada hakikatnya untuk menutupi se-luruh keindahan Tuhan yang tidak sepantasnya dilihat oleh yang bukan mahramnya. Jadi, bukan semata-mata perintah syariat atau hukum fiqh. Akibat dari pengabaian ruh jilbab, dalam praktiknya acapkali terlihat wanita-wanita yang mengenakan kerudung atau jilbab pun mengikuti "budaya pacaran" yang tentu amat asing dalam relasi sosial wanita-pria Islam.
Pacaran, dengan seluruh kompleksitas maknanya, telah menjadi semacam "ideologi". Artinya, ia me-rupakan pandangan yang melekat dalam diri pe-lakunya. Sehingga, dengan alasan, teman prianya sudah dekat, pelaku pacaran tak jarang rela untuk membuka auratnya -minimal rambut- di hadapan kawan prianya. Dan, di sini kawan prianya kehi-langan ruh iman. Artinya, ia tidak mengingatkan per-buatan dari kawan wanitanya. Dan menganggapnya itu sebagai hal yang wajar mengingat wanita tersebut adalah calon istrinya.

Ruh Jilbab sebagai Citra Intelektual dan Spriritual

Merebaknya pemakaian busana Muslimah, diduga muncul karena adanya semangat keislaman yang begitu tinggi setelah keberhasilan Revolusi Islam Iran (Lihat, misalnya, Gerbang Kebangkitan, ed. Hamid Algar, [Yogya: Shalahuddin Press]). Bila dugaan ini benar, tentu yang muncul adalah sikap meng-hormati keyakinan mazhab Syi’ah yang dianut oleh bangsa Iran oleh aktivis Muslim. Namun kenyataan-nya, tidak jarang terjadi celaan yang ditujukan kepada bangsa Iran sebagai penganut mazhab Syi’ah. Paling tidak, ketika sebuah jurnal kebudayaan meliput per-kembangan Syi’ah di Indonesia, muncul surat-surat pembaca yang menyatakan keberatan sekaligus kekecewaannya terhadap pemuatan liputan tersebut. Terakhir, keberatan terhadap perkembangan Syi’ah diwujudkan dalam seminar sehari di Masjid Istiqlal yang memfatwakan sesatnya faham Syi’ah !!!
Memberikan argumentasi seperti itu tentu belum memadai, karena boleh jadi alasan tersebut terlalu "ideologis". Sekalipun beberapa penelitian membukti-kan gelombang kesadaran berislam lebih meruah ber-kat kesuksesan Revolusi Islam di Iran. Salah satu hasil dari pengaruh besar revolusi tersebut adalah Sudan.
Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam Sunni itu barangkali salah satu representasi terbaik dalam hal penolakan mereka akan hegemoni Barat, dan seperti saudaranya di Iran, mereka pun membangkitkan revolusi Islam Sudan. Kaum wani-tanya mengenakan busana muslimah yang menutupi aurat mereka. Bahkan, sebagian di antara mereka menjadi pasukan pengawal revolusi Sudan.
Menurut penulis, fenomena berjlbab lebih didasarkan pada kesadaran kembali akan tradisi yang hilang akibat arus modernisme yang mencabut manu-sia kontemporer dari, dan memisahkannya dengan, Yang Mahakudus. Wanita Islam modern -dan prianya- merasa asing pada dirinya sendiri, pada Tuhan Yang Mahaindah, sehingga dalam setiap momen hidupnya menganggap Tuhan sebagai Zat Suci yang meman-dang dirinya dari kejauhan, seperti matahari menyinari bumi.
Sebaliknya, bagi Muslimah tradisional, Tuhan di-pandang bukan saja sebagai Kebenaran Mutlak (Al-Haqq) namun juga Kehadiran Mutlak. Jadi, bagi mereka Tuhan bukan Zat Transenden yang hanya "mengawasinya dari kejauhan", namun juga yang se-nantiasa menyapa dirinya, yang "bertahta dan bersemayam dalam dirinya" (imanen). Sehingga saat mengenakan jilbab, muslimah tradisional menyem-bunyikan "Kecantikan Tuhan" dalam dirinya, yang hanya akan dibuka kepada mereka yang berhak yakni suaminya. Bukan yang masih samar atau spekulasi.
Dengan paparan tersebut, bagi Muslimah tradi-sional, jilbab bukan sekadar pemenuhan kewajiban hukum fiqh. Akan tetapi, menunjukkan aspek keda-laman esoteris, aspek yang ingin menyembunyikan Kecantikan Ilahi kepada lawan jenis dan meng-hadirkan Keindahan Tuhan kepada lelaki yang sah. Dalam wacana Muslimah tradisional, berpacaran -berkhalwat (berdua-duaan) dengan lelaki yang bukan mahram- berarti pelanggaran dirinya terhadap Kebe-naran dan Kehadiran Mutlak, suatu dosa yang bagi-nya tidak terampuni. Dan ia sudah memasuki ritus-ritus asing manusia modernis.
Pada saat yang sama, berjilbab berarti menam-pilkan citra intelektual dan spiritual dari suatu tradisi yang merentang sejak para nabi, wali, filsuf, sufi, dan pewaris-pewaris mereka yang memahami secara ekstensif dan menghayati secara intensif tradisionalitas Islam leluhur mereka. Citra intelektual dan spiritual akan hadir dengan menambah pengeta-huan secara kuantitatif dan meningkatkan ilmu berikut amalnya secara kualitatif dalam diri Muslimah.
Berjilbab, dengan demikian, menjadi suatu tanta-ngan untuk mendapatkan citra intelektual dan spiritual bagi Muslimah tradisional di tengah-tengah arus modernitas. Sebagai suatu tantangan, Muslimah tradisional memestikan dirinya untuk meningkatkan ilmu pengetahuannya. Baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Pada gilirannya, Muslimah tradisional memes-tikan dirinya untuk bisa senantiasa mencerap Ke-indahan Tuhan, kedekatannya dengan Yang Kudus (ma’rifatullah) sehingga dengan citra spiritual yang bisa diperolehnya akan mampu memanifestasikan akhlak Jamaliyyah Allah dalam dirinya dan menjadi barakah kepada orang tuanya, suaminya, anak-anak-nya, tetangga-tetangganya, dan komunitas manusia sepanjang sejarah.

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Tempat Kelahiran Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
Menyingkap Keperibadian hazrat Zainab (A.S)
Akhlak dan Ilmu Akhlak
AlQuran Bukan Produk Budaya
Mengenal Peristiwa Mubahalah
3 Tips Al-Qur’an agar Doa Cepat Terkabul
Filosofi Peringatan Acara Hari Ketiga, Ketujuh, Keempat Puluh dan Haul Kematian
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Isra Ayat 1-2
Tanya Jawab mengenai Syafaat dalam Al-Quran
Mengapa Abdul Mutthalib memberikan nama anaknya dengan nama Abdul Uzza?

 
user comment