Indonesian
Thursday 28th of March 2024
0
نفر 0

Sikap Ali bin Abi Thalib terhadap Khalifah dan Kekhalifahan yang ada



Imam Ali bin Abi Thalib as sendiri mendukung para

khalifah waktu itu, tapi kenapa kalian (orang-orang

syi’ah) menolak kekhalifah mereka?

Sikap Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as terhadap

para khalifah dapat ditinjau dari dua sudut:

1.    Pengakuan secara resmi terhadap kekhalifahan

mereka.
2.    Kerjasama dengan pemerintahan mereka dalam

menyelasaikan masalah keagamaan dan kendala politik.

Dua sudut tinjau ini mesti dipisahkan. Dan tentu saja

sikap Amirul Mukminin Ali as dalam hal pertama adalah

negatif atau menolak keabsahan khilafah mereka,

sedangkan sikap beliau dalam hak kedua adalah positif

atau membantu mereka untuk menyelesaikan berbagai

persoalan agama dan politik.

Terkait bukti akan sikap negatif beliau dalam hal

pertama, perlu diperhatikan bahwa:

Pertama-tama, bagaimana mungkin Amirul Mukminin Ali as

mengakui kesahan khilafah mereka sementara dari sisi

Allah Swt beliau dilantik sebagai khalifah dan pemimpin

umat Islam, khususnya pelantikan yang terjadi di Ghadir

Khum? Khilafah, imamah, atau kepemimpinan beliau adalah

hukum samawi (hukum langit) dan keputusan Ilahi yang

tidak ada satu pihak pun yang berhak mengubahnya selain

Allah Swt. Al-Qur’an mensinyalir:

“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki mukmin dan tidak -

pula‌bagi perempuan mukmin apabila Allah dan Rasul-Nya

telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka

pilihan – yang lain- tentang urusan mereka.” (QS. Al-

Ahzab [33]: 36)

Kedudukan Amirul Mukminin Ali as sebagai imam, khalifah

dan pemimpin bukanlah hak pribadi yang beliau sendiri

berhak untuk berpaling darinya, melainkan ketetapan

Ilahi yang tidak ada satu pihak pun yang berhak untuk

mengubahnya. Namun demikian, bila kondisi tidak

mendukung pihak terlantik untuk melaksanakan ketetapan

itu maka asas maslahat menuntut dia untuk diam dan

tidak sekali-kali menuntut dia untuk mendudukkan orang

lain di posisinya.

Kedua, sejarah Saqifah dan penelitian tentang riwayat

hidup Amirul Mukminin Ali as menunjukkan bahwa dalam

tekanan yang paling kuat sekali pun beliau tetap tidak

mengulurkan tangannya untuk berbaiat kepada khalifah-

khalifah semasa hidupnya.

Di dalam salah satu suratnya, Muawiyah menuliskan

kepada Amirul Mukminin Ali as, “Engkaulah orang yang

ditarik paksa untuk berbaiat seperti unta yang diikat.”

Pernyataan ini membuktikan bahwa tekanan yang beliau

alami untuk berbaiat telah sampai pada titik beliau

diseret dari rumahnya secara paksa untuk melakukan

baiat kepada khalifah di masjid.

Dalam jawaban surat itu, Amirul Mukminin Ali as tidak

menolak realitas kebiadaban orang-orang itu terhadap

dirinya, bahkan beliau menekankan bahwa itu salah satu

bukti keteraniayaan dirinya. Beliau menuliskan, ‘Kamu

katakan bahwa mereka menyeretku seperti unta yang

terikat untuk melakukan baiat. Aneh sekali! Sumpah demi

Allah Swt, dengan kata-kata itu kamu sebenarnya ingin

mencelaku, tapi secara tidak sadar kamu sedang

memujiku. Kamu sebenamya ingin mempermalukanku, tapi

ternyata (dengan kata-kata itu) kamu sendiri yang

dipermalukan. Bagi seorang muslim, keteraniayaan

bukanlah cela selama dia tidak bimbang dalam hal

agamanya dan tidak meragukan keyakinannya.’[1]

Ketiga, Bukhari dalam bab “Maghazi“ meriwayatkan sebuah

hadis dengan sanad yang sampai kepada Aisyah bahwa,

‘Fathimah putri Nabi Saw mengutus seseorang kepada Abu

Bakar untuk menuntut agar tiga halnya (haknya)

dikembalikan:

1.    Warisan dia dari Rasulullah Saw.
2.    Tanah Fadak.
3.    Apa yang tersisa dari khumus ghanimah Perang

Khaibar.

Menanggapi tuntutan itu, Abu Bakar mengatakan, ‘Aku

dengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Kami tidak mewariskan,

-sedangkan- apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.’

Padahal, tanggungan hidup keluarga Nabi Saw ditunaikan

dengan harta itu.’ Sampai kemudian dia (Aisyah)

mengatakan, ‘Fathimah murka terhadap sikap negatif Abu

Bakar, dia meninggalkannya dan sejak itu dia tidak lagi

berbicara dengannya, dan dia tidak bertahan hidup lebih

dari enam bulan setelah wafatnya Nabi Saw.’

Ketika Fathimah sa meninggal, suami beliau Amirul

Mukminin Ali as menguburkannya malam hari dan tidak

memberitahu Abu Bakar perihal kematian beliau. Dan

selama beliau (Fathimah sa) hidup, Amirul Mukminin Ali

as tidak pernah berbaiat kepada Abu Bakar.[2]

Hadis di atas membuktikan bahwa selama enam bulan

Amirul Mukminin Ali as beserta istrinya menolak untuk

berbaiat kepada khalifah. Seandainya kekhalifahan Abu

Bakar itu sah dan memenuhi persyaratan, lalu kenapa

putri Nabi Muhammad Saw Fathimah Zahra sa meninggal

dunia dalam keadaan murka kepadanya dan kenapa suami

beliau Amirul Mukminin Ali as juga selama enam bulan

menolak untuk berbaiat kepadanya?!

Di sini terdapat kontradiksi dalam pandangan Ahli

Sunnah; karena, para sejarawan sepandangan bahwa putri

Nabi Muhammad Saw Fathimah Zahra sa sama sekali tidak

berbaiat kepada khalifah, bahkan sampai akhir hayatnya

beliau tidak mau berbicara dengannya. Lebih dari itu,

mereka juga menyatakan bahwa selama putri Nabi Saw

hidup maka suami beliau Amirul Mukminin Ali as juga

tidak berbaiat dengan khalifah Abu Bakar, dan baru

setelah enam bulan dari awal kejadian Saqifah beliau

berbaiat -secara paksa- dengannya.[3]

Di sisi lain kita melihat kitab-kitab hadis Shohih dan

Musnad dari kalangan Ahli Sunnah sendiri meriwayatkan

bahwa barangsiapa yang tidak berbaiat kepada imam

(pemimpin atau khalifah yang sah) pada zamannya maka

dia mati dalam keadaan jahiliyah. Muslim di dalam kitab

Shohih meriwayatkan, “Barangsiapa mati tanpa baiat

kepada imam maka dia mati jahiliyah.”[4] Ahmad bin

Hanbal juga di dalam kitab Musnad meriwayatkan,

“Barangsiapa mati tanpa mengenal imamnya, maka dia mati

seperti orang-orang jahiliyah.”[5]

Sekarang, bagaimana kita dapat membenarkan dua hal

tersebut di atas? Dari satu sisi, rida Siti Fathimah

Zahra sa putri Rasulullah Saw adalah tolok ukur rida

Allah Swt dan murkanya adalah tolok ukur murka Allah

Swt, di samping itu beliau juga merupakan penghulu para

wanita alam semesta.[6] maka sudah barang tentu orang

yang berkarakteristik seperti ini adalah orang yang

suci atau maksum. Di sisi lain, Siti Fathimah Zahra sa

putri Nabi Saw ini tidak berbaiat kepada khalifah Abu

Bakar dan beliau meninggal dunia bertemu Tuhannya dalam

keadaan tanpa baiat kepada khalifah tersebut.

Selanjutnya, kontradiksi ini bisa diselesaikan dengan

salah satu dari dua cara: yang pertama adalah kita

katakan bahwa kematian Siti Fathimah Zahra sa putri

Nabi Saw yang merupakan tolok ukur rida dan murka Allah

Swt serta penghulu para wanita surga mati dalam keadaan

jahiliyah karena tidak berbaiat kepada imam pada

zamannya -naudzu billah-. Yang kedua adalah kita

katakan bawha khalifah yang memimpin pada masa hidupnya

bukanlah imam yang sah pada zamannya, melainkan dia

telah merebut tampuk kekhalifahan secara tidak sah,

sedangkan imam yang sah pada zaman itu adalah imam yang

dilantik oleh Allah Swt melalui nabi-Nya di Ghadir

Khum, dan sejak hari pertama dari pelantikan itu Siti

Fathimah Zahra sa telah berbaiat kepadanya, bahkan

selama nyawa masih berada di tubuhnya beliau tidak

pemah berhenti mendukung imam sah yang telah beliau

baiat.

Keempat, kata-kata Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib

as sendiri telah berulangkali menunjukkan bahwa beliau

sampai akhir hayatnya tetap meyakini dirinya sebagai

imam atau khalifah Allah Swt yang sah, dan

sesungguhnnya kekhalifahan adalah hak beliau yang tidak

boleh diganggu-gugat tapi pada kenyataan telah dirampas

oleh orang lain. Dalam hal ini, selain pidato populer

beliau yang disebut dengan Pidato Syiqsyiqiyah,

pemyataan-pemyataan lain beliau juga membuktikan

terjadinya perampasan kekhalifahan oleh orang lain. Di

sini, kami hanya akan menukil sebagian kecil dari

pemyataan beliau:

    A. ‘Sumpah demi Allah! Sejak hari wafatnya

Rasulullah Saw sampai sekarang, hakku yang pasti telah

dirampas.’[7]
    B. ‘Di tengah perkumpulan, ada seorang yang berkata

kepadaku, ‘Hai putara Abu Thalib! Engkau orang yang

serakah terhadap kekhalifahan.’ Aku katakan kepadanya,

‘Bahkan kalianlah yang serakah, kalian lebih jauh dari

Nabi Saw sedangkan aku adalah orang yang paling dekat

dengan beliau baik dari sisi ruh maupun tubuh. Aku

hanya menuntut hakku, sedangkan kalian ingin

memisahkanku dari hakku yang pasti dan menghalangiku

darinya. Mana lebih serakah orang yang menuntut haknya

dan orang yang merebut hak orang lain tersebut?’ Begitu

aku gugurkan dia dengan bukti yang kuat di hadapan

hadirin maka dia baru sadar dan tidak punya jawaban

apa-apa untuk dia sampaikan.’[8]

Tidak diketahui siapa si pemrotes itu dan kapan protes

itu dia lontarkan. Ibnu Abil Hadid mengatakan, ‘Si

pemrotes itu adalah Sa’ad bin Waqash, dan itu terjadi

pada hari Syura.’ Kemudian dia mengatakan, ‘Tapi

kelompok Imamiyah punya pandangan bahwa si pemrotes itu

adalah Abu Ubaidah Jarrah, dan itu terjadi pada hari

Saqifah.’

Selanjutnya Amirul Mukminin Ali as berkata, ‘Ya Allah!

aku adukan kezaliman Quraisy dan para pendukung mereka

kepada-Mu. Mereka telah memutus silaturahmi denganku

dan melecehkan kedudukan muliaku. Mereka melakukan

kesepakatan dalam hal yang merupakan hak istimewaku,

dan mereka bangkit melawanku.’[9]

Sampai di sini jelas sekali bahwa Amirul Mukminin Ali

as tidak pemah berdamai dengan para khalifah dalam hal

imamah dan khilafah, senantiasa beliau menyampaikan

keteraniayaannya dan memberitahukan generasi setelahnya

tentang hakikat yang sebenarnya terjadi.

Hal kedua yang menjadi sudut tinjauan kita di sini

adalah kerjasama Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as

dengan badan kekhalifahan atau pemerintah dalam

persoalan agama dan politik serta penyelesaian terhadap

berbagai kendala yang dihadapi oleh para khalifah.

Terang saja sikap beliau dalam hal ini betul-betul

positif. Di dalam salah satu suratnya beliau

menjelaskan alasan kerjasama beliau dengan badan

pemerintah saat itu. Berikut ini kami akan menukil

terjemahan surat beliau:

‘Sumpah demi Allah! Tidak pernah aku membayangkan

sebelumnya bahwa bangsa Arab sepeninggal Rasulullah Saw

akan memalingkan urusan imamah dan kepemimpinan dari

Ahli Bait suci beliau -dan mendudukkannya di tempat

lain-, mereka telah menjauhkan kepemimpinan itu dariku!

Satu-satunya hal yang menyakitkanku adalah perkumpulan

orang-orang di sekitar Fulan … dimana mereka berbaiat

kepadanya. Aku letakkan tangan di atas tanganku

sampai-sampai aku melihat dengan mata kepalaku sendiri

ada sekelompok orang yang berpaling dari Islam dan

ingin menghancurkan agama Nabi Muhammad Saw. -Di

sinilah- Aku khawatir jika aku tidak membela Islam dan

orang-orang muslim niscaya aku akan menyaksikan

keretakan dan kehancuran dalam Islam, dimana bencana

ini bagiku lebih besar daripada bencana melepas

kekhalifahan dan pemerintahan terhadap kalian; karena,

masa ini adalah masa pendek kehidupan dunia yang cepat

lalu dan berakhir, seperti fatamorgana yang lekas

hilang dan laksana awan yang cepat berhamburan. Karena

itu, aku bangkit demi menolak jangan sampai hal-hal

yang lebih buruk itu terjadi, sehingga kebatilan pun

tersingkirkan dan agama tetap tegak kuat.’[10]

Surat ini menerangkan secara gamblang bahwa meskipun

Amirul Mukminin Ali as mengkritik badan khilafah dan

pemerintahan pada zamannya, beliau tetap bekerjasama

dengan mereka sampai batas-batas yang memungkinkan dan

beliau senantiasa menyelesaikan kendala keilmuan serta

politik mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.

 

CATATAN :

[1] Nahj Al-Balaghoh, surat no. 28.

[2] Shohih Bukhari, Bab Ghozwah Khaibar, hadis no.

4241.

[3] Shohih Bukhari, Kitab Fardhu Khumus, hadis no.

3093.

[4] Shohih Muslim, Bab Amarah, hal. 58, hadis no. 88.

[5] Musnad Ahmad, jld. 2, hal. 96.

[6] Mustadrok Hakim, jld. 3, hal. 156.

[7] Nahj Al-Balaghoh, pidato no. 6.

[8] Ibid., pidato no. 172.

[9] Bihar Al-Anwar, jld. 29, hal. 605.

[10] Nahj Al-Balaghoh, surat no. 62.

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Puasa Ramadhan dalam tradisi Islam Syiah (bag satu)
Ciri-Ciri Dikuasai Hawa Nafsu
Larangan Allah Mendekati Perbuatan Keji
Dalil Naqli Dan Aqli Adanya Penyerangan Rumah Fatimah sa
Kumpulan Fatwa Rahbar Seputar Taqlid
Di manakah letaknya gua Ashabul Kahfi?
Pengorbanan nan Indah di Mata Al-Aqilah
Amalan Hari Raya Idul Ghadir
Studi Kritis Hadits "Berpegangan kepada al-Quran dan as-Sunnah"
Doa Nadi Ali dan kegunaannya

 
user comment