Indonesian
Friday 29th of March 2024
0
نفر 0

Menjalani Hidup dengan Iman

Dalam diri manusia hal yang paling penting dalam hidupnya adalah masalah keimanan. Karena keimanan inilah yang memberi manusia kepastian dalam menjalani kehidupannya. Kepastian ini berupa arah tujuan hidup manusia. Apabila manusia ingin dalam kehidupannya dijalani dengan baik maka ia harus dilandasi dengan keimanan, sedangkan jika kehidupannya tanpa iman maka ia akan mengalami ketidakpastian hidup bahkan dapat terjerumus ke jurang kenistaan.

Memang menjalani hidup dengan iman tak mudah, karena di sana terdapat ujian, halangan dan rintangan. Ada seorang sahabat Nabi saw yang bernama Bilal, ia adalah seorang budak yang masuk Islam. Ketika ia menerima hidayah iman, ia pun harus menerima berbagai siksaan. Namun ia tetap tabah dalam menjalaninya, sampai akhirnya ia dibebaskan oleh seorang sahabat Nabi saw, Abu Bakar, dari status budaknya.

Bilal adalah orang yang tidak sekedar menjadikan Islam sebagai pengetahuan, tapi ia manusia yang beriman. Memang keimanan itu berbeda dengan pengetahuan. Dalam keimanan, kita akan diuji dengan berbagai cobaan bahkan terkadang nyawa menjadi taruhannya. Sedangkan pengetahuan hanya mensyaratkan kita hanya untuk memahaminya. Pengetahuan juga tak mensyaratkan untuk meyakini apa yang diketahuinya. Untuk lebih jelasnya, dapat diterangkan bahwa iman itu berbeda dari pengetahuan tentang Allah, Keesaan Wujud-Nya, dan Sifat-sifat-Nya yang lain –seperti sifat al-kamaliyyah (Kesempurnaan), al-jalaliyyah (Keagungan), atau sifat-sifat yang lain –pengetahuan tentang malaikat, Kitab-kitab Suci, dan Hari Akhir. Sehingga apabila seseorang memiliki pengetahuan tentang semua itu tidak lantas mukmin, karena mukmin tidaknya seseorang tergantung dari faktor keimanannya.

Masalah pengetahuan itu tidak identik dengan keyakinan, misalnya ini terjadi pada Iblis. Iblis memiliki pengetahuan tentang semua itu lebih daripada manusia, tetapi ia tetap tidak beriman. Iman adalah kerinduan hati – suatu pengalaman batin, yang jika tidak sejati sifatnya tidak menjadi iman. Setiap orang yang telah memiliki pengetahuan tentang agama melalui argumen rasional harus tunduk kepada pengetahuan itu sepenuh hatinya, dengan seluruh totalitas eksistensinya dan segera memenuhi penggilan hatinya –yaitu, penyerahan sempurna kepada Allah, dengan kerendahan hati dan rasa takut, dan menerima seluruh tanggung jawabnya secara sungguh-sungguh tanpa pertanyaan. Hanya dengan demikianlah ia menjadi mukmin sempurna.

Jika seorang yang menjadi mukmin, maka ia akan mencapai puncak iman yang ditandai dengan ciri-ciri kedamaian dan ketenangan batin. Ketika cahaya iman telah mantap, hatinya pun menjadi tenang dan mantap, dan ini adalah sesuatu yang tidak muncul dari pengetahuan. Pengetahuan hanya menjadikan manusia mempunyai pemahaman tentang sesuatu, namun jika ia tidak mengimaninya maka hal itu tidak akan banyak berpengaruh langsung dalam kehidupanya, seperti Iblis yang mengetahui Allah, tapi tidak mau mentaati perintah-Nya.

Sebabnya, pengetahuan hanya merupakan proses akal bukan proses hati yang dapat menyentuh sisi-sisi kehidupan ruhani manusia. Dalam hal ini, mungkin saja akal mengakui sesuatu yang sesuai dengan aturan dan logikanya, namun hatinya bisa jadi tidak siap untuk bersepakat dengan akalnya dan dengan demikian pengetahuan tersebut menjadi sia-sia. Sebagai contoh, engkau tahu melalui akalnya bahwa seorang yang telah mati tidak dapat membahayakan dirimu dan bahwa semua orang mati di dunia ini tidak memiliki kekuatan untuk melakukan suatu perbuatan, meskipun itu hanya sekedar kekuatan seekor lalat, dan bahwa semua daya jasmaniah dan ruhaniah terlepas segera setelah seseorang mati. Tetapi karena hatimu tidak menerimanya dan tidak menyetujui penilaian akal, engkau tidak berani melewatkan malam dengan sebuah tubuh yang telah mati. Tetapi jika hatimu bersepakat dengan akal, tugas tersebut tidak akan menjadi sulit lagi bagimu. Setelah melakukan beberapa usaha, hati setuju dengan akal, dan dalam hatimu tidak ada lagi rasa takut terhadap orang mati.

Jadi, ada satu fakultas dalam diri manusia yang menentukan tingkat keimanan seseorang yakni hati. Hati inilah tempat bernaungannya dimensi keimanan itu, sedangkan akal tempat bersemayamnya pemahaman. Dengan hati manusia menjadi insan perasa yang dapat merasakan keimanan dengan manis, dengan akal manusia dapat memahami sesuatu dengan terpuaskan. Dua fakultas inilah yang akan menentukan perilaku kehidupan manusia. Jika manusia ingin beriman gunakanlah hati, jika manusia ingin paham gunakanlah akal.

Karena itu, jelas bahwa ketundukan yang merupakan perbuatan hati berbeda sama sekali dari pengetahuan yang merupakan perbuatan akal. Mungkin saja seseorang dapat membuktikan kebenaran Keesaan Wujud Allah, Hari Akhir, dan keimanan-keimanan lainnya secara logis. Namun, hal itu tidak lantas dapat dianggap sebagai iman, dan orang tersebut tidak dapat dianggap sebagai mukmin; dapat saja ia tergolong kafir, munafik atau musyrik.

Maka dengan hati itulah keimanan terpatri, yang akan melahirkan nilai-nilai ruhaniah yang membumbung dengan melintasi dimensi raga. Sedangkan jika hati tertutup, maka saat itulah diri kita tertutup, dan kita tidak memiliki pandangan ilahiah.

Demikian pula mata lahiriah kita tidak mampu mencerap-Nya; dan ketika yang tersembunyi disingkapkan dan kerajaan surga ditampakkan, karena hatinya terhalangi dari-Nya maka engkau bukanlah seorang yang memiliki iman sejati terhadap Allah dan penilaian rasionalmu tidak sejalan dengan imanmu.

Selanjutnya, sebelum kalimat la ilaha ila Allah (tidak ada tuhan selain Allah) tertulis dalam kitab hati dengan pena akal, manusia bukanlah seorang mukmin sejati terhadap Keesaan Allah. Ketika ajaran suci itu digoreskan pada hati, dengan sendirinya hati menjadi tempat kerajaan Yang Mahakuasa. Hanya setelah itulah manusia tidak lagi melihat sesuatu yang lain sebagai suatu wujud yang berpengaruh dalam wilayah kebenaran. Ia tidak lagi mengharapkan kedudukan apa pun, atau kelebihan dalam harta dari yang lain. Ia tidak lagi mengejar kemasyhuran dan kehormatan dengan bantuan orang lain, dan hatinya tidak menjadi munafik dan bersifat keduniawian.

Sifat-sifat keduniawian merupakan penghalang manusia menuju keimanan sejati. Keduniawian ini seringkali akan melahirkan sifat riya’ yang akan merusak kesucian hati. Karena itu, jika melihat riya’ menyelinap ke dalam hati kita, sadarilah bahwa hati kita belum sepenuhnya menunclukkan dirinya kepada akal, dan keimanan belum mencerahkan hati kita. Keimanan mensyaratkan untuk meyakini la ilaha ila Allah, karena jika engkau menganggap makhluk lain sebagai tuhan, memandangnya sebagai salah satu penyebab terjadinya peristiwa di dunia ini, dan kau tidak mempercayai-Nya sebagai satu-satunya Allah, maka itu berarti engkau telah bergabung dengan kelompok orang-orang munafik dan syirik.

Menjadi kelompok orang munafik dan syirik membuat diri kita termasuk dalam golongan ahli neraka. Jika itu terjadi, kita termasuk manusia yang tidak merasakan nikmatnya keimanan itu. Sebab, hidup dalam iman merupakan kenikmatan dan keberuntungan jiwa. Semua kerusakan moral dan perilaku terjadi akibat ketiadaan iman di dalam hati. Sungguh jika ini terjadi dalam diri kita, maka merugilah kehidupan kita selama di dunia ini.

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Imam Husain As dalam Pandangan Ahlusunnah
Sifat Jamal dan Jalal Ilahi
Bagaimana mukjizat itu dapat didefinisikan dan dibuktikan?
Salafi Wahabi Adalah Benalu Bagi Jama’ah Kaum Muslimin
Kisah Sayyidina Ali ra dan 3 Orang Yahudi Tentang Ashabul Kahfi
Kisah Ashabul Kahfi dan sains
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Isra Ayat 7-10
Puasa Ramadhan dalam tradisi Islam Syiah (bag satu)
Ciri-Ciri Dikuasai Hawa Nafsu
Larangan Allah Mendekati Perbuatan Keji

 
user comment